26 April 2012

[260412.EN.SEA] Threat Piracy For Seafarers Troubling, Declares Asian Shipowners Forum


THE effect of piracy globally, off Somalia and increasingly in the waters of Benin and Nigeria, is a serious problem for seafarers who are constantly under threat, according to latest forum held in Manila.

The continuing threat of piracy on commercial shipping is of deep concern not only to seafarers and their families dealing with trauma over long periods of loved ones held hostage and post-traumatic stress for those captured, said members of The Seafarers Committee of the Asian Shipowners Forum.

"The situation continues to be a serious crisis, one that deeply affects the mental health of seafarers and their families as well as the carriage of world trade, said Seafarers Committee chairman Li Shanmin. "We demand, that the threat to our seafarers and their families is not forgotten, and that all possible is done to alleviate the situation."

Members of the ASF Seafarers Committee included the ASF secretary general and delegates from the shipowner associations in China, Chinese Taipei, Hong Kong, Japan, Korea and FASA, as represented by the Philippines, Singapore and Malaysia. During the meeting, the committee also discussed other issues of concern to Asian shipowners.

The Asian Shipowners' Forum is a voluntary organisation of the shipowner associations of Australia, China, Chinese Taipei, Hong Kong, India, Japan, Korea and the Federation of ASEAN Shipowners' Associations comprising shipping associations of ASEAN countries. It has been estimated that ASF owners and managers control and operate nearly 50 per cent of the world's cargo carrying fleet.

Source : HKSG, 26.04.12.

[260412.ID.LOG] Cetak Biru Logistik Milik Pemerintah Belum Menjawab Persoalan


JAKARTA: LP3E Kadin menilai cetak biru Sislognas yang dirancang pemerintah belum mampu menjawab persoalan logistik di Tanah Air karena solusi  yang ditawarkan belum menjamin peningkatan daya saing

“Cetak biru Sislognas (Sistem Logistik Nasional) ternyata  belum dapat menjawab persoalan logistik nasional yang mendasar dan komplek. Masih (berupa) tataran konsep,” ujar Peneliti Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia Ina Primiana kepada Bisnis, Senin 23 April 2012.

Menurut Ina, tingginya biaya logistik dan lamanya waktu kirim menjadi salah satu penyebab rendahnya daya saing produk-produk Indonesia.

Hal itu terjadi karena sejumlah prasarana logistik masih konvensional, seperti jalan, pelabuhan, dan hubungan antarmoda, serta belum terbangunnya konektivitas antarlokasi.

“Mayoritas menggunakan angkutan darat yang lebih mahal dari angkutan laut,” katanya.

Faktor lain yang menyebabkan biaya logistik tinggi, lanjut Ina, a.l. teknologi informasi dan komunikasi yang kurang mendukung dalam proses pemantauan arus barang antarwilayah, ongkos pengadaan alat angkut truk dan kapal laut yang tinggi karena pajak dan suku bunga, serta regulasi logistik yang tidak terpadu.

“(Selain itu) kompetensi SDM logistik yang rendah, banyaknya jumlah dokumen yang perlu dipersiapkan dan butuh waktu pada NSW (National Single Window), dan armada yang tidak layak tetap beroperasi,” tuturnya.

Untuk itu, Ina merekomendasikan sejumlah hal menyangkut pembenahan infrastruktur dan  konektivitas.

Menurutnya, perlu reevaluasi sejumlah hal yang selama ini menjadi beban    biaya logistic, a.l. biaya antrian ke pelabuhan, biaya sewa gudang, rumitnya perijinan kepengurusan di pabean.

Laporan World Economic Forum (WEF) 2009-2012 menempatkan Indonesia di urutan ke 82 dari 134 negara untuk kualitas infrastruktur, jauh di bawah Malaysia yang menempati peringkatr 23.

Jenis kualitas infrastruktur yang memiliki peringkat terendah adalah kualitas infrastruktur pelabuhan yang berada pada peringkat 103 atau turun dari 95 (2009-2010) dan 96 (2010-2011).

Kualitas pasokan listrik juga mengalami penurunan peringkat sejak 2009-2010, yaitu menempati urutan 96, menjadi peringkat 97 dan 98 di 2011-2012.  (Bsi)

Sumber : Bisnis Indonesia, 23.04.12.

25 April 2012

[250412.EN.SEA] UASC Takes Delivery Of Eighth Of Nine 13,000-TEUers From Samsung


KUWAIT's United Arab Shipping Company (UASC) has taken delivery of its eighth 13,500-TEU containership, the Al Qibla, during a naming ceremony at Korea's Samsung Heavy Industries shipyard.

"The ships are living up to expectations and are providing substantial savings, which, combined with recent freight increases, have resulted in a substantial improvement for UASC," said CEO Jorn Hinge.

Said UASC chairman Othman Ibrahim Al-Issa: "Al Qibla takes her name after a city in my homeland Kuwait, and her name carries a special spiritual meaning as well, in the Arabic language it means the direction towards which we turn for prayer."

This almost completes the US$1.5 billion Samsung order of nine 13,000-TEU ships placed in 2008. Seven have already entered service on routes between the Far East, Arabian Gulf, Red Sea and northern Europe on the AEC8 and AEC2 and AGX1 services.

The naming ceremony was attended by Kuwait's ambassador to South Korea Mr Muteb Al-Mutoteh, Samsung's senior management, several UASC executives and financial partners.

The investment in the 13,000-TEUers is expected to yield important economies of scale, allowing UASC to compete more effectively in key trades, said the company statement. The new bigger ships will reduce UASC's per TEU cost and will place the shipping line in a stronger position vis-a-vis rivals, said UASC, which owns and operates 48 containerships.

Source : HKSG.

[250412.ID.AIR] Dirgantara Indonesia Bersiap-siap Rakit CN295


JAKARTA: PT Dirgantara Indonesia (Persero) akan merakit pesawat CN295 di Bandung mulai akhir 2013.

Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (PTDI) Budi Santoso mengatakan perakitan akhir 7 dari 9 pesawat rancangan Airbus Military (AM) CN295 pesanan Kementerian Pertahanan akan dikerjakan di pabrik PTDI.

Dia menjelaskan perakitan 7 pesawat tersebut akan dimulai setelah lini produksi PTDI di Bandung bisa memenuhi standar produksi yang ditetapkan AM.

Revitalisasi dan modernisasi sistem produksi pesawat PTDI, jelasnya, direncanakan selesai dalam 18 bulan sejak penandatanganan kerjasama strategis antara PTDI, AM dan Perusahaan Pengelola Aset (Persero) di Bandara Halim Perdanakusuma, hari ini

“Setelah itu, seluruh pesanan pesawat CN295 di Asia Pasifik tidak lagi diproduksi di Spanyol. Semua diproduksi di Indonesia, begitu juga C-212,” kata Budi.

Direktur Aerospace PTDI Andi Alisjahbana mengatakan kesepakatan yang ditandatangani hari ini di depan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menandakan tercapainya syarat awal teaming agreement antara PTDI dan AM yang terbentuk Juni tahun lalu.

“Syaratnya ketika itu, PTDI membantu CN295 terjual. Itu sudah tercapai. Kesepakatan baru ini menandakan seluruh rencana rencana restrukturisasi yang disusun PTDI bersama AM masih berjalan tepat waktu,” katanya.

Kontrak pembelian 9 unit CN295 oleh Kementerian Pertahanan diumumkan pada awal tahun ini dengan nilai mencapai US$325 juta.

Menhan menjelaskan pembelian 9 unit pesawat tersebut adalah bagian dari rencana pencapaian kemampuan angkatan bersenjata minimal (minimum essential force) pemerintah sampai 2015.

Andi memaparkan mulai pertengahan tahun ini AM mulai memberi bantuan tenaga ahli, perangkat peralatan dan permesinan, serta sistem informasi teknologi untuk meningkatkan efisiensi sistem produksi pesawat PT DI.

Salah satu di antaranya adalah memperpendek waktu produksi PT DI dari 6—9 bulan per unit pesawat menjadi 6 pekan per unit pesawaat.

“Seluruh investasi restrukturisasi sepenuhnya merupakan investasi PTDI. AM akan memberi bantuan know how,” jelas Andi.

Direktur Utama PPA Boyke Mukijat mengatakan PTDI mengajukan proposal anggaran senilai Rp2,055 triliun untuk proses restrukturisasi perusahaan termasuk pembangunan lini produksi CN295 yang rencananya beroperasi pada 2013.

Dia menjelaskan PPA memberi dukungan pendanaan senilai Rp675 miliar sampai seluruh permintaan anggaran pemerintah untuk dana restrukturisasi PTDI disetujui oleh DPR.

“Juga ada dana pinjaman dari perbankan. Kami juga mengawasi pembelanjaan dan apa kerjasama ini fair,” tambah Boyke.

Senior Vice President AM Ignacio Alonso mengatakan kerjasama kedua perusahaan akan mencakup aspek industri dan komersial.

Selain membentuk kerjasama pemasaran dan pusat produksi, jelasnya, kedua perusahaan akan membangun pusat servis yang memberikan pelayanan logistik, pemeliharaan dan pelatihan awak pesawat untuk seluruh produk PTDI dan AM untuk wilayah Asia Tenggara.

“Hasil kerjasama sejauh ini sangat baik yang memungkinkan kita untuk terus memperluas lingkup visi jangka panjang kerjasama, yang mungkin akan mencakup pesawat A400M,” kata Alonso.

Hari ini, AM menghadirkan pesawat kargo A400M yang bisa mengangkut muatan seberat 30 ton dengan jarak tempuh maksimal sejauh 8.700 kilometer di Bandara Halimperdanakusuma, Jakarta.

Purnomo mengatakan pesawat kargo tersebut bisa menjadi alternatif pengganti pesawat Hercules C-130 yang selama ini diandalkan TNI AU.

AM mengklaim A400M mampu mengangkut beban 2 kali lebih berat dengan jarak tempuh yang setara atau jarak tempuh 2 kali lebih jauh dengan beban yang setara jika dibandingkan dengan C-130.

Namun, Menhan menegaskan pembelian A400M baru bisa direncanakan dalam anggaran pemerintah setelah 2015. (sut)

Sumber : Bisnis Indonesia, 18.04.12.

24 April 2012

[240412.EN.SEA] Shipping Alliances Do Not Violate Anti-trust Regulations, Expert Says


MEGA shipping alliances are not breaching antitrust rules, according to Aitken Spence Maritime and Logistics chairman Parakrama Dissanayake, who sought to allay shippers' feats that such blocs pose a threat, reports Sri Lanka's Sunday Observer.

Dr Dissanayake pointed out that four mega shipping alliances MSC and CGM, Maersk Line, Grand Alliance and New World Alliance and CKYHA - Evergreen from Asia to Europe control a shipboard capacity of 13.4 million TEU and a market share of 85.8 per cent. From January to April this year the four shipping alliances increased freight rates 60 per cent compared to last year.

Notwithstanding rate increases, the global fleet in the 8,000-TEU category will grow by 25 per cent this year posing a threat to freight rates and profitability of shipping lines.

In this backdrop, Maersk Line expects losses again this year as announced by its chairman of its parent group recently at its annual general meeting.

Dr Dissanayake said that under the current European Union regulations, each consortium within major east and west trade lanes can have a maximum market share of 30 per cent. Maersk Line controls 19.3 per cent as against MSC/CGM-CMA's 29.9 per cent on the Asia-Europe route. Grand Alliance and New World Alliance have 17.3 per cent while CKYH and Evergreen have 18.4 per cent.

"Therefore, it is evident that the mega shipping alliance recorded so far does not appear to break any antitrust rules. However, in the short term, shippers would not be able to do much as the regulations come up for renewal again only in 2013," Dr Dissanayake said.

He said mega consortia will provide shippers with better service frequencies and port coverage. Also further membership in lines will be better placed to compete against "daily Maersk service from Asia to North Europe."

Dr Dissanayake said that a question is being posed: "Will all this lead to fewer transshipments since ocean carriers will gain economies of scale to call at secondary ports?"

Source : HKSG, 24.04.12.

[240412.ID.LOG] Logistik Nasional : Cetak Biru Sislognas Belum Pacu Daya Saing


JAKARTA: LP3E Kadin menilai cetak biru Sistem Logistik Nasional (Sislognas) yang dirancang pemerintah belum mampu menjawab persoalan logistik di Tanah Air karena solusi  yang ditawarkan belum menjamin peningkatan daya saing

“Cetak biru Sislognas ternyata  belum dapat menjawab persoalan logistik nasional yang mendasar dan komplek. Masih (berupa) tataran konsep,” ujar Peneliti Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia Ina Primiana kepada Bisnis, Senin 23 April 2012.

Menurut Ina, tingginya biaya logistik dan lamanya waktu kirim menjadi salah satu penyebab rendahnya daya saing produk-produk Indonesia.

Hal itu terjadi karena sejumlah prasarana logistik masih konvensional, seperti jalan, pelabuhan, dan hubungan antarmoda, serta belum terbangunnya konektivitas antarlokasi.

“Mayoritas menggunakan angkutan darat yang lebih mahal dari angkutan laut,” katanya.

Faktor lain yang menyebabkan biaya logistik tinggi, lanjut Ina, a.l. teknologi informasi dan komunikasi yang kurang mendukung dalam proses pemantauan arus barang antarwilayah, ongkos pengadaan alat angkut truk dan kapal laut yang tinggi karena pajak dan suku bunga, serta regulasi logistik yang tidak terpadu.

“(Selain itu) kompetensi SDM logistik yang rendah, banyaknya jumlah dokumen yang perlu dipersiapkan dan butuh waktu pada NSW (National Single Window), dan armada yang tidak layak tetap beroperasi,” tuturnya.

Untuk itu, Ina merekomendasikan sejumlah hal menyangkut pembenahan infrastruktur dan  konektivitas. (ra)

Sumber : Bisnis Indonesia, 23.04.12.