Oleh: Achmad Aris
Awal November 2009 sebagian besar pelaku usaha di sektor pasar keuangan dan penerbangan 'berteriak-teriak' karena merasa terbebani dengan adanya tambahan biaya pajak. Ini terjadi akibat pemberlakuan dua Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) tentang pencegahan penyalahgunaan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B).
Dua perdirjen yang bikin heboh itu tak lain adalah PER-61/PJ/2009 tentang Tata cara Penerapan P3B yang kemudian direvisi dengan SE-114/PJ/2009 dan PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan P3B.
Sebenarnya apa yang salah dengan dua perdirjen itu sampai-sampai para pelaku usaha merasa keberatan?
Asosiasi perusahaan maskapai pesawat, misalnya, berargumentasi kalau pemberlakuan Perdirjen 61 dan 62 akan membebani mereka karena harus terkena pajak sewa pesawat sebesar 20% yang selama ini tidak dikenakan. Secara tidak langsung, menurut mereka, hal itu akan berpengaruh terhadap kenaikan tarif angkutan udara domestik.
Sementara itu, pelaku pasar keuangan berpendapat peraturan tersebut berpotensi mengurangi minat investor asing pada SUN. Mereka menganggap secara teknis aturan itu sangat menyulitkan karena investor memerlukan waktu sendiri terkait dengan pengkajian dari segi legal/ hukum terhadap pengisian formulir yang harus dipenuhi agar transaksi yang dilakukan bisa mendapatkan fasilitas P3B.
Menanggapi hal ini, Kasubdit Penjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Astera Primanto Bhakti mengatakan latar belakang diterbitkannya dua perdirjen itu karena dalam ketentuan yang lama tidak ada standar baku perihal bentuk surat keterangan domisili (SKD) dan juga tidak diatur secara tegas mengenai penentuan beneficial owner.
"SKD selama ini kami cuma terima beres, bahkan ada wajib pajak yang baru menunjukkan SKD setelah kejadian, padahal itu seharusnya di awal. Makanya kami buat Perdirjen 61 dan 62," katanya dalam acara sosialisasi Perdirjen 61 dan 62 akhir bulan lalu.
Menurut dia, dengan tidak adanya standar baku tersebut membuat banyak pihak yang sebenarnya tidak berhak mendapatkan fasilitas P3B justru mendapatkannya melalui rekayasa treaty shopping yang dibuat.
Dua Perdirjen baru tersebut, lanjutnya, merupakan pintu gerbang bagi wajib pajak (yang benar-benar berhak) agar bisa memanfaatkan fasilitas penurunan tarif yang ada di P3B. "Kalau nggak berhak ya nggak boleh dapat fasilitas P3B. Jadi ini perlu ditegaskan supaya orang nggak lari-lari bikin treaty shopping."
Merujuk Gunadi, Guru Besar Perpajakan FISIP UI, rekayasa treaty shopping biasanya dilakukan dengan mendirikan suatu badan dengan tujuan khusus (special purpose vehicle/SPV) di salah satu negara mitra P3B, atau dengan berbagai cara lainnya sebagai suatu saluran (conduit) atas penghasilan yang diperoleh di negara mitra lainnya.
Skema yang biasa digunakan dalam melakukan rekayasa ini adalah back to back loan. Misalnya P3B Indonesia dengan Belanda menurunkan tarif potongan pajak atas bunga dari 20% menjadi 0%. Cco adalah WPDN negara C yang tidak mempunyai P3B dengan Indonesia. Kalau Cco membeli langsung obligasi PT A (WPDN Indonesia) bunganya akan dikenakan pajak 20%.
Maka untuk menganulir beban pajak tersebut Cco bisa menitipkan dana US$1 miliar ke BBv di Belanda untuk membeli obligasi PT A. Dengan skema itu maka bunga obligasi sebesar US$100 juta yang dibayar PT A kepada BBv tidak dikenakan pajak. Di Belanda, BBv membayar bunga kepada Cco dan tidak ada potongan pajak atas bunga.
BBv selain tidak kena pajak karena penghasilan bunga akan dikurangi dengan biaya bunga, juga tidak memotong pajak atas bunga yang dibayarkan tersebut. Bunga tersebut akhirnya hanya akan kena pajak di negara C apabila negara ini menerapkan pemajakan global.
Rekayasa lain yang dapat dimanfaatkan adalah skema controlled foreign corporation (CFC), dengan mendirikan B1Bv di Belanda ketimbang nitip dana ke BBv, yang selanjutnya aliran transaksinya akan terjadi seperti dalam skema back to back loan.
Baru-baru ini Dirjen Pajak Mochamad Tjiptardjo juga menegaskan kalau dua perdirjen itu memang untuk menutup celah praktik penyalahgunaan P3B melalui skema tax avoidence dan tax evasion dalam rangka rekayasa treaty shopping yang selama bertahun-tahun ini seolah-olah menjadi trandmark di kalangan pengusaha Indonesia.
"Kemarin waktu ada pertemuan dengan Presiden waktu pembukaan pasar modal, ada yang ngomong dari lawyer komplain adanya Per 61 dan 62. Tapi mereka ngaku kalau skim yang dipakai orang-orang itu tax avoidance," ujarnya. (Bisnis, 16 Januari)
Penerima fasilitas
Kalau begitu lantas siapa yang berhak untuk mendapatkan fasilitas itu? Dalam Per 62 ditegaskan pihak-pihak yang berhak memanfaatkan P3B adalah individu yang bertindak tidak sebagai agen atau nominee, lembaga yang namanya disebutkan dalam P3B, perusahaan yang sahamnya terdaftar di pasar modal dan diperdagangkan secara teratur, bank, dan wajib pajak (WP).
WP yang dimaksud adalah WP luar negeri (WPLN) yang menerima atau memperoleh penghasilan melalui kustodian sehubungan dengan pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia (selain bunga dan dividen) dalam hal WPLN bertindak tidak sebagai sebagai agen atau nominee.
Pihak lainnya yang juga berhak adalah perusahaan yang memenuhi persyaratan kumulatif yaitu pendirian perusahaan di negara mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak semata-mata untuk pemanfaatan P3B, kegiatan usaha dikelola manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi, perusahaan mempunyai pegawai, penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negaranya, dan tidak menggunakan lebih dari 50% dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk seperti bunga, royalti, atau imbalan lainnya.
Untuk yang terakhir ini bisa diistilahkan sebagai SPV yang benar-benar perusahaan operasional dan bukan 'abal-abal'. "Kalau [persyaratan] Perdirjen 62 lulus, mudah-mudahan di Perdirjen 61 bisa gampang karena Perdirjen 61 itu tatacara pelaksanaannya, sedangkan Per 62 itu substansinya. Jadi istilah orang Amerikanya tinggal check the box," ujar Prima.
Nah, kalau sudah lolos di Perdirjen 62, lalu syarat-syarat apa yang harus dipenuhi selanjutnya? Di Perdirjen 61 diatur kalau WPLN harus menyampaikan SKD dengan formulir yang diterbitkan oleh Ditjen Pajak yaitu form DGT 1 atau Form DGT 2.
"Form DGT 1 itu untuk umum, kalau DGT 2 itu dipakai khusus untuk bank dan WPLN yang menerima penghasilan melalui kustodian dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen," jelasnya.
Langkah selanjutnya, SKD harus diisi oleh WPLN dengan lengkap dan ditandatangani yang kemudian disahkan oleh pejabat berwenang di negara mitra P3B. SKD harus disampaikan paling lambat pada batas waktu penyampaian SPT masa terkait. Kalau sampai terlambat, tarif yang berlaku adalah tarif sesuai UU PPh di Indonesia.
"Kami buat ketentuan ini tidak asal bikin karena negara lain juga melakukan ini. Bahkan di Perancis dan China itu malah lebih ribet lagi. Jadi kami punya benchmark sebelum menerbitkan aturan ini," tambah Prima.
Nah, kalau ternyata di negara-negara lain juga menerapkan ketentuan itu, kenapa penerapan ketentuan tersebut di Indonesia harus dipersoalkan? Lebih baik mari kita bersama belajar untuk menggunakan fasilitas yang memang menjadi hak dan bukan malah merekayasa sesuatu agar mendapatkan fasilitas yang bukan menjadi hak. (achmad.aris @bisnis.co.id)
Sumber : Bisnis Indonesia, 05.02.10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar