Presiden Joko
Widodo kembali
menyoroti masalah dwelling time di sejumlah pelabuhan Indonesia yang menurutnya
tidak sesuai harapan sehingga upaya memperkuat konektivitas antarpulau belum
dapat terwujud.
Secara
spesifik Presiden menyebutkan Pelabuhan Belawan dan Pelabuhan
Tanjung Perak. Untuk Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Makassar,
dia mengakui upaya perbaikan sejauh ini sudah berjalan cukup baik.
Dalam
2 tahun terakhir, waktu yang dibutuhkan petikemas impor sejak dibongkar dari
kapal hingga keluar pelabuhan (dwelling time) di Priok dan Makassar telah
menurun signifikan, kendatipun harus terus diperbaiki agar dapat ditekan ke
angka 2 hari.
“Saya
minta dwelling time semua pelabuhan bisa dua koma, entah itu 2,2 hari, 2,5
hari. Tidak hanya di Priok saja,” begitu salah satu penggalan penjelasan
Presiden Joko Widodo saat meresmikan operasional Terminal Petikemas Kalibaru Fase
1, Selasa (13/9).
Persoalan
dwelling time memang sudah menjadi salah satu fokus perhatian Jokowi begitu
menjalankan tampuk pemerintahan sejalan dengan janji untuk melakukan pembenahan
semua pelabuhan di Tanah Air.
Saat
ini, dwelling
time di Tanjung Priok berada di kisaran 3,2 hari berdasarkan laporan dari
PT Pelabuhan Indonesia II (Persero), sedangkan menurut data Kementerian
Perhubungan mencapai 3,7 hari Menurut Jokowi, angka tersebut masih cukup baik
bila dibandingkan dengan inspeksi mendadak dua tahun lalu yang mencatat angka
dwelling time di Priok selama 6-7 hari.
Sementara
itu, untuk mampu bersaing di tingkat dunia, idealnya dwelling time harus dapat
ditekan menjadi 2 hari. Presiden menilai, masalah lamanya waktu bongkar muat
yang terjadi selama ini bukanlah semata-mata disebabkan oleh membeludaknya
permintaan yang melebihi kapasitas pelabuhan melainkan proses perizinan yang
lama.
Artinya,
masalah birokrasi menjadi faktor utama penyebab lamanya dwelling time
dibandingkan dengan infrastruktur.
Bahkan
tidak sekadar birokrasi. Kali ini Presiden menengarai laporan pungutan liar di
Pelabuhan Tanjung Perak. Situasi inilah yang juga menjadi penyebab mengapa
dwelling time begitu lama di pelabuhan tersebut.
Karena
itu, Kapolri telah diinstruksikan untuk segera bergerak dan menindak aksi
pungutan liar agar waktu bongkar muat dapat segera turun.
Sekalipun
masalah birokrasi ini menjadi faktor utama lamanya waktu bongkar muat,
pemerintah juga terus berupaya menambah daya tampung pelabuhan. Salah satunya
Jokowi menginginkan pembangunan Pelabuhan Kalibaru digenjot dan ditargetkan
rampung 2018.
Dengan
demikian, daya tampung Tanjung Priok akan meningkat lebih dari dua kali lipat
dari 6 juta twenty-foot equivalent units (TEUs) menjadi 15 juta TEUs. Pada
intinya, dwelling time yang kompetitif dengan negara-negara lain di kawasan
akan membantu pemerintah untuk fokus kepada masalah lain guna memperkuat daya
saing ekonomi.
Jangan
sampai biaya bongkar-muat yang membengkak terus menerus menjadi persoalan
klasik yang menggerogoti daya saing. Akar penyebab masih lamanya dwelling time
harus diinventarisir dan segera diperbaiki. Langkah itu termasuk evaluasi
efektivitas penyesuaian tarif inap pelabuhan yang sudah dinaikkan sejak Januari
2014.
Yang
jelas, penurunan dwelling time membutuhkan kerja sama antar-instansi karena
beberapa pihak terlibat di dalamnya. Untuk memangkas rantai dwelling time,
pihak yang berperan terbagi menjadi tiga kelompok yang bertanggung jawab yaitu
tahap pre-custom clearance, custom clearance, dan post custom clearance.
Alhasil,
layanan satu atap yang terintegrasi menjadi mendesak agar koordinasi lintas
instansi tersebut dapat terwujud. Pesan yang ingin disampaikan Presiden jelas
yaitu pelayanan kepelabuhanan di seluruh Indonesia harus memiliki standar
operasi yang sama sehingga arus logistik tidak mengalami hambatan di
titik-titik tertentu.
Sebagai
negara yang memiliki banyak pulau Indonesia memiliki potensi besar menjadi
poros maritim dunia. Terkoneksinya pulau-pulau tersebut tentu akan memberi
kontribusi bagi kemajuan ekonomi yang juga diharapkan dalam komitmen melakukan
pemerataan pembangunan antar-wilayah.
Sebaliknya,
lemahnya daya jangkau antar wilayah hanya akan menyebabkan perbedaan harga yang
kian melebar antar Jawa dengan luar Jawa, antara wilayah Indonesia Barat dengan
wilayah Timur Indonesia.
Sumber
: BIsnis Indonesia, 14.09.16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar