Bisnis.com,
SURABAYA – Lamanya proses dwelling time di pelabuhan bongkar muat yang terjadi
di Indonesia disebabkan salah satunya oleh tingkat kesadaran importir atau
forwarder dalam mengurus dokumen impor barang.
Kepala Humas
PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III, Edi Priyanto mengatakan proses dwelling
time itu melibatkan banyak instansi di dalamnya. Hingga saat ini, dwelling
time di Pelabuhan Perak Surabaya rata-rata masih 5,25 hari, meski
pemerintah menarget dwelling time harus 3 hari bahkan 2 hari.
Sedangkan
waiting time, lanjutnya, adalah tugas Pelindo operator, di mana kapal yang akan
bersandar tidak perlu menunggu dan bisa langsung melakukan bongkar muat peti
kemas.
“Di
Pelabuhan Perak misalnya, kami sudah zero waiting time. Artinya kapal yang mau
bongkar muat sudah langsung saat itu juga,” katanya kepada Bisnis, Jumat
(16/9/2016).
Dia
memaparkan dalam proses dwelling time di pelabuhan ini terdapat tiga proses,
yakni pre-clearance, customs-clearance dan post- clearance.
Pada
pre-clearance, melibatkan sedikitnya ada 15 instansi seperti Kementerian
Perdagangan, BPOM, Karantina Tumbuhan dan Hewan, Ikan, Kementerian Kesehatan,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup, Bapeten, Kemneterian
ESDM, Kepolisian, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
“Kalau
importir itu sadar, semestinya proses pre-clearance bisa diurus lebih awal
sebelum barang tiba di pelabuhan, tetapi kenyataannya banyak importir malah
menunggu barang datang baru mereka mengurus. Apalagi pengurusan dokumen dari
semua instansi itu harus di Jakarta, tidak ada di Surabaya,” jelas Edi.
Selain
itu, lanjut Edi, kurangnya koordinasi antar instansi terkait perizinan Lartas
atau barang larangan atau pembatasan, juga seringnya terjadi gangguan pada Indonesia
Nasional Single Window (INSW).
Pada
proses custom clearance, selama ini ada masalah lamanya waktu penyerahan
hardcopy dokumen jalur kuning dan jalur merah, lamanya penarikan kontainer
untuk diperiksa fisik, termasuk kesiapan penerbitan delivery order (DO) dari
pelayaran dan perbankan pada hari-hari libur.
“Bahkan
sudah ada instansi yang mendirikan pos pelayanan 24 jam sekalipun, terkadang
tidak ada pemilik kontainer yang mau mengurus, ini kan tidak efisien,”
imbuhnya.
Menurut
Edi, untuk mengatasi masalah dwelling time diperlukan partisipasi aktif dari
para pengusaha baik importir, eksportir, shipping agent, dan forwarder.
“Kalau
hanya pemerintah saja yang berupaya keras menurunkan dwelling time tapi yang
lain tidak berpartisipasi maka hasilnya sama saja,” imbuh Edi.
Sumber
: Bisnis Indonesia, 16.09.16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar