Bisnis.com,
JAKARTA—Masa tenggat rampungnya kajian komprehensif atas perjanjian Trans-Pacific
Partnership diundur hingga November 2016. Meski demikian,
kecenderungan Indonesia untuk bergabung dalam perjanjian multilateral tersebut
kian kuat.
Menteri
Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan Presiden Joko Widodo
memang meminta tiap kementerian terkait melakukan kajian komprehensif dampak
keikutsertaan Indonesia dalam Trans-Pacific Partnership (TPP) sebagai landasan
pengambilan keputusan. Awalnya, kajian tersebut ditargetkan rampung Juli 2016.
Kendati
begitu, pemerintah memperpanjang masa tenggat rampungnya kajian yakni sebelum
November 2016. “Karena kan November ada APEC . Jadi kemudian di sana kami akan
beriringan untuk RCEP dan TPP ini, jadi kami akan berselancar untuk itu,” jelas
Enggar kepada Bisnis, belum lama ini.
Enggar
menyebut, dalam konferensi multilateral dengan beberapa negara di China dan
Laos awal bulan ini, Presiden Jokowi pun telah disambut hangat oleh beberapa
negara yang akan tergabung dalam TPP. Terutama, lanjutnya, yakni oleh Presiden
Amerika Serikat Barrack Obama.
“Saya
harus bilang Presiden kita luar biasa berselancar betul, sehingga Indonesia
sekarang menjadi fokus, bahkan body language Obama hangat betul ke Presiden
Jokowi.”
Sementara
itu, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian
Perdagangan (Kemendag) Tjahya Widayanti mengatakan jika Indonesia masuk dalam
keanggotaan TPP, sektor tekstil dan alas kaki menjadi penerima manfaat
terbesar. Sebab, dua sektor tersebut akan diuntungkan karena penurunan tarif di
negara-negara TPP.
Diproyeksikan,
ekspor tekstil dan alas kaki Indonesia masing-masing akan naik sebesar 22% dan
18%. Dengan kenaikan itu, Kemendag menghitung ekspor tekstil dan alas kaki akan
menyumbang 70% tambahan ekspor usai Indonesia bergabung di TPP. Adapun, sektor
olahan makanan, mesin, karet, dan produk kimia juga dinilai akan mencatatkan
peningkatan ekspor yang signifikan.
Sebaliknya,
riset Kemendag menunjukkan arus impor akan kian deras pada sektor permesinan,
elektronik, dan transportasi. Sebab, Kemendag memandang akan ada peningkatan
produksi pada sektor elektronik, jasa konstruksi, serta manufaktur usai masuk
ke TPP. Namun, Tjahya menyebut barang yang diimpor merupakan barang modal dan
berbentuk parts & component. “Jadi bukan barang jadi.”
Dari
sisi perdagangan, Tjahya mengatakan Indonesia juga akan kehilangan potensi
transaksi senilai US$306 juta jika tak bergabung dalam TPP, akibat pengalihan
perdagangan ke negara anggota TPP.
Jika
TPP berlangsung tanpa Indonesia, Kemendag juga melihat potensi perdangan hanya sebesar
US$20 miliar. Kebalikannya, jika Indonesia menyatakan keikutsertaannya, maka
potensi perdagangan naik ke level US$26 miliar. Indonesia pun dinilai akan
menjadi penerima manfaat ekspor terbesar keempat setelah Jepang, Amerika, dan
Vietnam.
Hingga
kini, terang Tjahya, tiap kementerian terkait yang terimbas TPP tengah menyusun
kajian kmprehensif terkait dampak keputusan Indonesia atas keikutsertaan di
perjanjian tersebut. Per awal bulan ini, posisi draf kajian telah mencapai 75%
dan berada di Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian.
Sumber
: Bisnis Indonesia, 24.09.16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar