Laporan wartawan KOMPAS Haryo Damardono
JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat transportasi Rudy Thehamihardja menyatakan, transportasi massal di Indonesia lebih baik didorong hancur dahulu. Sesudah itu baru kemudian para pemangku kepentingan duduk bersama untuk membahas strategi terbaik menumbuhkan transportasi massal di Indonesia.
"Percuma saya menitipkan hal-hal yang seharusnya dapat memajukan transportasi massal. Mengapa? Karena tiap permintaan yang diajukan, bagi banyak orang hanya terkesan untuk meningkatkan laba pengusaha angkutan umum.
Padahal tidak begitu. Kami juga peduli dengan transportasi massal di Indonesia yang harusnya dapat mengurai kemacetan di sana-sini," kata Rudy kepada Kompas di Jakarta, Jumat (7/5/2010).
Kepada Rudy sebenarnya dimintakan pendapatnya soal pengganti Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, tentang program apa yang seharusnya dikerjakan Menkeu baru untuk memajukan dunia transportasi. Namun, jawabannya justru mengejutkan!
Pengusaha transportasi, katanya, sebenarnya dapat saja minta penurunan bea masuk atau pembebasan Pajak Pertambahan Nilai bila membeli suku cadang. Toh, uang yang dihemat itu memang tak seluruhnya untuk menambah laba. Sebab, uang dari mana untuk menutup biaya pungli, misalnya.
Terlebih, kata Rudy, tak ada lagi satu pihak pun di Indonesia yang benar-benar memedulikan transportasi massal.
"Proyek busway tak jalan hingga detik ini, tidak ada penduduk Jakarta yang berunjuk rasa di Gedung Balaikota atau kantor Kementerian Perhubungan tuh. Jangan-jangan bila busway Kota-Blok M ditutup untuk dijadikan lajur motor, juga tak ada yang peduli," ujarnya.
Ditegaskan Rudy, fenomena terbaru dalam dunia transportasi massal, yakni penutupan Kereta Parahyangan, juga tidak disikapi dengan serius oleh para pemangku kepentingan.
Selain para railfans yang berteriak-teriak, memang ada anggota DPR yang bersuara lantang? Atau, apakah Menteri Perhubungan juga bersuara kritis? Tidak ada tuh?" katanya.
Ketidaksempurnaan kompetisi antara kereta dan travel, kata Rudy, mungkin sudah diketahui oleh para pengambil kebijakan.
"Para pejabat itu sudah tahu kok bila kereta memakai BBM industri tetapi travel disubsidi. Nah, ketika kebijakan begitu lama diambil, meski demi kepentingan kereta api, itu tandanya mereka tak peduli," kata Rudy.
Jadi, Rudy seolah berharap transportasi massal benar-benar mati dan kacau-balau. Ketika seluruh jalan macet total, semua orang beralih dari mobil ke motor.
Dan, ketika trotoar tak lagi dapat diinjak manusia karena harus mengalah dengan motor, mungkin saat itulah baru kita orang Indonesia mau benar-benar memikirkan kembali pentingnya transportasi massal," katanya.
Sumber : Kompas, 07.05.10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar