JAKARTA: Nestle Indonesia berkomitmen untuk terus mendapatkan pasokan minyak sawit dari produsen Indonesia, tetapi dengan beberapa persyaratan yang wajib dipenuhi oleh pemasok sawit.
Brata T. Hadjosubroto, Head of Public Relations PT Nestle Indonesia, menjelaskan strategi dan keputusan untuk memilih pemasok di masa datang berdasarkan kepada kepatuhan para pemasok terhadap responsible sourcing guidelines (RSG) dan keseluruhan Nestle supplier code.
"Yang pasti, prioritas Nestle Indonesia akan selalu dan tetap untuk mendapat pasokan dari produsen Indonesia yang dapat dipercaya dalam hal sustainability," ujarnya kepada Bisnis hari ini.
Dia mengatakan pada dasarnya minyak sawit bukan merupakan bahan baku utama untuk sejumlah produk Nestle. Perusahaan hanya membeli 0.7 % dari total produksi minyak sawit dunia.
Namun, sambungnya, Nestle terus berkontribusi memberikan jalan keluar yang efektif serta secara bertahap terus berkomitmen soal pasokan minyak sawit hanya dari sumber yang berkelanjutan.
Brata tidak menyampaikan tanggapan mengeni hasil verifikasi tim independen atas tuduhan Greenpeace pada sejumlah lahan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMART) baru-baru ini.
Dia menjelaskan sejak Mei 2010, Nestle bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat global yang bergerak di bidang pelestarian hutan, The Forest Trust (TFT). Kemudian menghentikan pasokan bahan baku dari perkebunan yang dinilai telah mengakibatkan perusakan hutan.
Kerja sama dengan TFT, katanya, Nestle mulai menerapkan RSG, yang akan melengkapi Nestlé Supplier Code. Pedoman itu wajib dipenuhi oleh para pemasok minyak sawit.
Brata menyatakan berdasarkan pedoman itu, Nestle dan TFT akan melakukan penilaian terhadap kinerja pemasok dan memberikan bantuan teknis kepada mereka yang belum dapat memenuhi persyaratan perusahaan.
Persyaratan yang wajib dipenuhi oleh para pemasok, pertama sawit berasal dari perkebunan atau pertanian yang beroperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, melindungi kawasan hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi.
Ketiga, mendukung persetujuan bebas dari penduduk asli dan masyarakat setempat atas aktivitas yang dilakukan diatas tanah adat mereka dimana perkebunan dikembangkan.
Keempat, melindungi lahan gambut. Kelima, melindungi kawasan hutan yang memiliki kemampuan penyerapan karbon yang tinggi.(bas)
Sumber : Bisnis Indonesia, 12.08.10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar