JAKARTA
– Harga batu bara diprediksi masih berpeluang membara seiring dengan proyeksi
berkurangnya produksi dari China, meskipun Amerika Serikat bakal
meningkatkan volume suplai.
JP Morgan dalam risetnya
menyampaikan, National Development and Reform Commission (NDRC) China sedang
mempertimbangkan untuk memulai kembali pengendalian produksi tambang melalui
pengurangan operasi kerja menjadi 276 hari mulai pertengahan Maret 2017.
Kebijakan tersebut akan mencakup dua hal, yakni pemantauan (monitoring)
industri selama enam bulan ke depan, dan lokasi tambang batu bara yang dipilih.
Penutupan
kapasitas produksi merupakan reformasi suplai NDRC yang berlaku sejak tahun
lalu untuk menstabilkan harga batu bara. Seperti diketahui, mulai April 2016
Pemerintah China menetapkan pemangkasan waktu kerja perusahaan batu bara dari
330 hari per tahun menjadi 276 hari per tahun.
Namun
demikian, operasional tambang batu bara sejak September 2016 ditambah untuk
menopang tingginya pasokan selama musim dingin. NDRC menyampaikan, semua
perusahaan yang sudah memenuhi standar keselamatan bisa memulihkan operasi dari
276 hari menjadi 330 hari.
“Fokus
pasar saat ini ialah apakah kebijakan 276 hari kerja akan dilanjutkan setelah
Maret 2017. Katalis lain dalam jangka pendek ialah target penutupan kapasitas
batu bara untuk 2017,” papar Morgan dalam risetnya akhir pekan lalu.
Pada
penutupan perdagangan Senin (20/2), harga batu bara Newcastle kontrak Februari
2017 tumbuh 0,2 poin atau 0,25% menjadi US$80,1 per ton. Meskipun demikian,
selama tahun ini harga telah turun 9,39% (year to date/ytd).
Tahun
lalu, harga mencapai titik terendah US$41,35 per ton pada 18 Januari 2016, dan
level tertinggi US$100 per ton pada 11 November 2016. Sepanjang tahun kemarin,
harga melonjak 101,87%.
Total
penutupan kapasitas tambang batu bara China pada 2016 mencapai 290 juta ton,
naik dari target awal 250 juta ton. Menurut Morgan, pemerintah setempat
memberikan ambang batas wajar harga batu bara di atas level 500 – 570 yuan
(US$72,77 – US$82,96) per ton. Artinya, bila harga berada di luar rentang
tersebut, pengambil kebijakan akan melakukan langkah-langkah tertentu untuk
kembali menstabilkan harga.
Sentimen Negatif
Sementara
itu, sentimen negatif terhadap pasar batu bara datang dari Amerika Serikat,
sebagai produsen terbesar kedua di dunia, yang berencana meningkatkan produksi
pada 2017.
Laporan
Short Term Energy Outlook (STEO) Februari 2017 dari US Energy Information
Administration (EIA) menyebutkan, produksi batu bara AS pada 2016 mencapai 739
juta short ton (MMst), turun 18% yoy atau 158 MMst dari 2015, dan menjadi level
terendah sejak 1978. Hal ini terjadi karena Paman Sam mulai beralih ke gas alam
sebagai tenaga pembangkit listrik.
Seiring
dengan naiknya harga gas alam, penggunaan batu bara juga akan ditingkatkan.
Alhasil produksi batu hitam diperkirakan meningkat sekitar 3% yoy pada 2017.
Wahyu
Tribowo Laksono, Analis Central Capital Futures, mengatakan isu terkini yang
sedikit menekan pasar batu bara ialah proyeksi peningkatan produksi dari AS.
Sejak awal, Presiden AS Donald Trump memang memberikan janji-janji yang
pragmatis, termasuk masalah energi.
Sebelumnya,
Barack Obama ketika masih menjabat sebagai presiden menekankan penggunaan
energi terbarukan dan energi alternatif. Oleh karena itu, Paman Sam mengurangi
konsumsi batu bara, dan beralih ke gas alam.
“Mungkin
sekarang angin berhembus balik untuk batu bara karena efek Trump. Meskipun
enggak bagus buat lingkungan, yang penting bagus bagi AS,” ujarnya.
Selain
dari AS, potensi penaikan produksi juga datang dari negara lain seperti
Indonesia dan Kolombia. Menurut Wahyu, hal ini masih wajar karena peningkatan
harga memicu produsen mengerek suplai. Namun demikian, hingga saat ini masih
dihitung seberapa besar volume suplai baru tersebut mempengaruhi pasar global.
China tetap menjadi faktor utama terhadap pasar batu bara.
“Jadi
secara umum bisa diduga harga enggak boleh anjlok karena merugikan perusahaan
tambang, yang ujung-ujungnya menekan ekonomi China. Tapi harga juga enggak bisa
mahal, karena mengancam sektor energi atau listrik,” tuturnya.
Dalam
jangka menengah atau pada kuartal I/2017, Wahyu memprediksi rentang harga
berada di kisaran US$70 – US$110 per ton. Meski jatuh di bawah US$82 per ton,
harga masih berpeluang rebound.
Aditya
Eka Prakasa, analis BCA Sekuritas, dalam risetnya menyampaikan emiten batu bara
di Indonesia dapat diuntungkan dengan pemutusan impor China dari Korea Utara.
Penghentian impor ini dilakukan setelah uji coba rudal balistik dari Korea
Utara ke Laut Jepang.
Larangan
impor diperkirakan berlangsung sampai akhir 2017. Pada 2016, Korea Utara
mengekspor 22,5 juta ton batu bara ke China, atau sekitar 50% total ekspor
negara yang dipimpim Kim Jong Un ini. Sementara itu bagi Negeri Panda, volume
pengiriman dari Korea Utara mewakili 10% total impor batu bara negara.
“Kiriman
batu bara dari Indonesia bisa mengisi kekosongan dari larangan China terhadap
Korea Utara,” paparnya.
Menurut
Aditya, dua perusahaan lokal yang dapat mengisi pasar China ialah ADRO dan
ITMG. Penjualan batu bara ke China berkontribusi terhadap 14% pendapatan ADRO,
dan 25% pendapatan ITMG.
Sumber
: Bisnis Indonesia, 22.02.17.