JAKARTA, KOMPAS.com — Rencana pemerintah memprivatisasi tiga perusahaan milik negara tahun ini harus kandas. Sebab, Komisi VI DPR belum mau membahasnya lantaran ketiga perusahaan masih sakit.
Ketiga perusahaan tersebut adalah PT Cambrics Primissima, PT Kertas Padalarang, dan PT Sarana Karya. Semula, pemerintah berencana ingin menjual saham tersebut semaksimal mungkin.
Hanya saja, Komisi VI DPR menolak usulan tersebut. "Kami ingin ada restrukturisasi dulu," kata Airlangga Hartarto, Ketua Komisi VI DPR, seusai rapat kerja dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Senin (6/9/2010).
DPR menganggap privatisasi bukanlah cara yang tepat untuk menyehatkan ketiga perusahaan pelat merah tersebut. Sebaliknya, DPR justru menilai cara itu hanya untuk mematikan perusahaan tersebut.
Apalagi, DPR menilai sebenarnya pemerintah juga belum mempunyai investor strategis. Pemerintah hanya mengandalkan pemilik saham lama di masing-masing perusahaan untuk membelinya.
"Ini akan mengulang kasus lama pada saat krisis 1998 lalu, di mana banyak perusahaan negara yang dijual murah," kata Airlangga.
Alhasil, daripada menanggung kerugian, Komisi VI DPR meminta perusahaan tersebut disembuhkan terlebih dahulu. DPR optimistis, program restrukturisasi dan revitalisasi bisa menyehatkan tiga perusahaan itu.
Catatan saja, Cambrics merupakan perusahaan tekstil yang 52,79 persen sahamnya dimiliki pemerintah dan 47,21 persen oleh Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI). Hasil audit menyatakan, perusahaan ini telah merugi sejak tiga tahun yang lalu, antara Rp 5,5 miliar-Rp 8,4 miliar per tahun.
Sementara PT Sarana Karya masih dimiliki negara secara penuh. Namun, sejak April 2008 telah dilakukan Kerja Sama Operasional (KSO) dengan PT Timah Tbk. Hal ini mengakibatkan laba usaha dibagi dua.
Sementara PT Kertas Padalarang, sebesar 40,8 persen sahamnya dikuasai negara, sisanya, PT Pengelola Investasi Mandiri sebesar 45,9 persen, dan PT Kertas Kraft Aceh (KKA) sebesar 13,3 persen. Sejak tiga tahun yang lalu, perusahaan ini juga terus merugi. Bahkan, pada 2009 lalu, kerugian mencapai Rp 23,1 miliar.
Sumber : Kontan-Kompas, 07.09.10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar