Bisnis.com, JAKARTA— Persatuan Perusahaan Realestat
Indonesia mengusulkan pembayaran uang muka sebesar Rp1 juta bagi masyarakat
berpenghasilan rendah (MBR) untuk pengajuan kredit pemilikan rumah (KPR).
“Usulan tersebut diajukan untuk memenuhi kebutuhan papan,
sehingga dapat memangkas angka kebutuhan rumah (backlog) yang sangat tinggi,”
ucap Ketua Umum DPP REI Setyo Maharso dalam rilis yang diterima Bisnis, Jumat
(13/9/2013).
Selain itu, sambungnya, dia meyakini dengan kemudahan ini
akan menggairahkan sektor riil. Usulan tersebut, ujarnya, merupakan respons
dari penugasan Menteri Perindustrian kepada pengembang untuk berkontribusi
dalam menggerakkan sektor riil.
Untuk itu, jelasnya, REI membutuhkan dukungan dari
otoritas moneter demi meyakinkan praktisi perbankan guna melonggarkan aturan
penyaluran KPR, khususnya yang ditujukan kepada MBR.
Menurutnya, meski pembayaran uang muka hanya Rp1 juta,
sisa pembayaran lainnya bisa dimasukkan dalam skema KPR. Format pembayaran
seperti ini, tuturnya, lebih baik dari pada bank harus mengeluarkan kredit
tanpa agunan (KTA) untuk membayar uang muka pembelian properti.
“Melalui program ini, maka dalam 3 tahun pertama dari
total tenor pengajuan KPR yang dibiayai Fasiltias Likuiditas Pembiayaan
Perumahan (FLPP) bisa dialokasikan untuk pembayaran cicilan uang muka,”
katanya.
Usulan tersebut, ujar Setyo, dapat direalisasikan bila
memperoleh Surat Edaran Gubernur Bank Indonesia sebagai jaminan kepastian
penyaluran KPR kepada konsumen. REI berencana akan beraudiensi dengan Gubernur
Bank Indonesia dalam waktu dekat.
Secara terpisah, Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian
Perumahan Rakyat Sri Hartoyo mengatakan pihaknya telah mengirimkan permohonan
kepada Bank Indonesia untuk menetapkan rasio nilai kredit terhadap nilai agunan
(loan to value) KPR-FLPP menjadi 100%, atau pembebasan pembayaran uang muka.
Sri menjelaskan sebelumnya MBR dikenakan kewajiban
pembayaran uang muka minimal 5%. Jumlah tersebut, masih dianggap beban bagi
MBR. Dengan pembebasan uang muka diharapkan pengajuan KPR-FLPP menjadi lebih
tinggi lagi.
“Meskipun begitu bank beralasan ATMR (Aktiva Tertimbang
Menurut Risiko) yang ditanggung akan besar. Padahal, rumah bersubsidi sudah
mendapatkan asuransi kebakaran, meninggal, atau gagal bayar. Artinya, risikonya
lebih rendah,” ungkapnya.
Dia mengharapkan Bank Indonesia dapat menyetujui permintaan
tersebut dan segera memberikan pernyataan terkait, agar perbankan dapat
mengaplikasikannya di lapangan.
Di sisi lain,REI meminta penaikan batas atas harga rumah
bersubsidi yang terbebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Seperti diketahui,
besar patokan atas rumah bersubsidi yang memperoleh pembebasan PPN telah
ditetapkan Kemenpera.
Dalam aturan tersebut, harga rumah bersubsidi diatur
berdasarkan zonasi, dengan harga Rp88 juta-Rp145 juta per unit, dengan asumsi
luas rumah 21 m2-36 m2.
Setyo mengatakan pihaknya akan meminta Menteri Keuangan
untuk memberikan keringanan batas pembebasan rumah bagi masyarakat
berpenghasilan rendah.
“Kami meminta pembebasan PPN diberlakukan pada harga unit
rumah yang awalnya Rp88 juta, menjadi Rp110 juta,” ujarnya.
Selain itu, Setyo memperkirakan investasi di bidang
properti dapat membantu menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Dengan
investasi Rp1 miliar, akan terserap sekitar 105 tenaga kerja di sektor
properti.
“Jika anggaran negara sebesar Rp4 triliun yang
dialokasikan untuk pengadaan rumah bagi MBR dikucurkan, setidaknya bisa
menyediakan pekerjaan bagi 400.000 tenaga kerja baru,” tandasnya. (ltc)
Sumber : Bisnis Indonesia, 13.09.13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar