Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perhubungan
merekomendasikan lima langkah yang mesti dilakukan oleh seluruh pemangku
kepentingan untuk memperbaiki waktu tunggu pelayanan kapal dan barang (dwelling time) di Pelabuhan
Tanjung Priok.
Rekomendasi itu disampaikan Dirjen Perhubungan Laut
Kemenhub, Bobby R.Mamahit yang dibacakan Sekretaris Ditjen Hubla Kemenhub Erwin
Rusmali, saat membuka seminar nasional Kajian Kritis Dwelling Time yang
diselenggarakan Majalah Indonesia Shipping Times, hari ini, Rabu (18/9/2013).
Pertama, melakukan peremajaan terhadap angkutan pelabuhan
(trucking) yang sebagian besar atau 80% sudah berumur lebih dari 15 tahun.
Kedua, melanjutkan koordinasi dengan Walikota Jakarta
Utara agar lahan di depan kawasan Ancol seluas 24 hektare yang belum
dimanfaatkan itu dapat dialihfungsikan sebagai buffer tempat kantong parkir
sambil menunggu masuk ke pelabuhan sehingga dapat mengurangi kepadatan lalu
lintas dari dan ke pelabuhan Priok.
Ketiga, menyiapkan kantong parkir di wilayah timur
Jakarta (Cilincing) untuk mengendalikan manajemen traffic trucking.
Keempat, tidak menjadikan dermaga di pelabuhan Priok
sebagai tempat penumpukan barang agar kapal bisa melakukan bongkar muat dengan
produktivitas tinggi.
Kelima, Pemilik barang dan instansi terkait yakni Bea dan
Cukai dan Badan Karantina agar mengoptimalkan pemanfaatan tempat pemeriksaan
fisik terpadu (TPFT) di Pelabuhan Tanjung Priok.
Bobby mengatakan pemangku kepentingan harus
menindaklanjuti rekomendasi Kemenhub untuk menekan dwelling time agar tercipta
kelancaran arus barang di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.
Saat ini, dwelling time di pelabuhan Priok mencapai 8
hari dari sebelumnya hanya 5,8 hari. Bahkan untuk peti kemas impor jalur merah
yang mesti dilakukan pemeriksaan fisik bisa memakan waktu lebih dari 14 hari.
Bobby mengatakan, upaya menurunkan dwelling time menjadi
fokus pemerintah guna menciptakan daya saing ekonomi dan logistik nasional.
“Bahkan sudah dilakukan dengan sejumlah kebijakan strategis.”
Setidaknya, , terdapat tiga langkah strategis yang sudah
diupayakan pemerintah, yakni pengembangan pelabuhan Tanjung Priok dengan
menyiapkan terminal Kalibaru yang sedang dalam proses pekerjaan fisik,
melakukan penataan lahan dan membongkar gudang di pelabuhan Priok untuk
menambah kapasitas tampung pelabuhan, serta optimalisasi fasilitas Cikarang Dry
Port (CDP).
Sesuai rencana induk Pelabuhan Tanjung Priok, sebagaimana
di tetapkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan No:38/2012, pengembangan
pelabuhan dalam jangka pendek adalah membangun
terminal Kalibaru Jakarta Utara (2012-2017) dan untuk jangka menengah
(2018-2023) menyiapkan pelabuhan Cilamaya Jawa Barat.
“Terminal Kalibaru merupakan solusi jangka pendek, sedangkan
jangka menengah yakni membangun Pelabuhan Cilamaya yang diharapkan bisa
beroperasi pada 2020,” tuturnya.
Pelabuhan Cilamaya yang diperkirakan menelan investasi
Rp40 triliun itu disiapkan sebagai pelabuhan modern khusus peti kemas dan
terminal mobil yang perencanaanya terintegrasi dengan pusat indsutri dan
logsitik di sekitarnya (hinterland).
Kepala Otoritas
Pelabuhan Tanjung Priok Sahat Simatupang
mengatakan untuk menurunkan dwelling time, pengguna jasa cukup membuka
modul pertukaran data Indonesia national single window(INSW) dengan inaport,
sehingga informasi muatan dan manifest barang bisa diakses oleh semua pihak.
“Agar pre clearance bisa lebih cepat, ini menjadi
prioritas utama kordinasi antara OP Priok dan Bea Cukai pelabuhan Priok,”
ujarnya.
Sahat mengatakan, pre clearance mengkontribusi 53% atas
dwelling time, kemudian custom clearance 27%, sedangkan port clearance 20%.
Jalur Merah
Sekjen BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia
(Ginsi) Achmad Ridwan Tento mengatakan pemeriksaan fisik peti kemas impor jalur
merah di TPFT turut meningkatkan dwelling time karena proses ini memakan waktu
5-8 hari.
Namun, mulai 17 September 2013, Jakarta International
Container Terminal (JICT) menerapkan sistem terintegrasi dengan TPFT, sehingga
pemilik barang tidak perlu lagi membawa surat pemeriksaan jalur merah (SPJM) ke
bagian billing JICT untuk mengurus permohonan pemeriksaan fisik peti kemas atau
behandle.
Kini, mereka cukup melihat layar monitor yang disediakan
JICT. “Sistem ini diharapkan dapat memangkas waktu proses pemeriksaan fisik
peti kemas impor hanya menjadi 2-3 hari saja,” tuturnya.
Ridwan mengatakan tingginya dwelling time di Priok juga
tidak terlepas dari perilaku dan karakteristik importir.
Dia mencontohkan importir produsen otomotif menggunakan
pelabuhan sebagai gudang karena rantai produksinya memakai metodejust in time. Adapun importir
pakan ternak tidak berani menimbun barang di gudang di luar pelabuhan karena
takut dituduh menimbun.
Begitupun importir yang terkena larangan pembatasan
(lartas) diharuskan klarifikasi dari sejumlah instansi. “Klarifikasi dari
instansi terkait ini membutuhkan waktu lama sebab belum ada standar dalam
pengurusan dokumen barang yang terkena lartas.” (k1)
Sumber : Bisnis Indonesia, 18.09.13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar