Bisnis.com,
JAKARTA – Rencana Pemerintah Indonesia untuk bergabung dalam Trans
Pacific Partnership mengiikuti sejumlah negara tetangga di Asean
lainnnya memunculkan satu konsekuensi.
Direktur Jenderal Kerja
Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi mengatakan negara-negara yang baru
bergabung, biasanya akan mendapatkan perlakuan yang berbeda dibandingkan dengan
negara yang ikut dari awal pembentukan
kerja sama tersebut.
“Minimum kita
harus, kita diminta apa yang mereka sepakati. Kemungkinan mereka akan minta
tambahan. Artinya threshold-nya lebih keras.”
Hal yang sama
pernah terjadi ketika China masuk ke WTO. “Semua dibuka, dia harus nurut.
Ongkosnya mahal buat dia untuk bergabung,”
kata Bachrul Jumat (9/10/2015).
Selama ini,
lanjut Bachrul, memang bisa dikatakan bahwa antusiasme dari kementerian dan
lembaga terhadap free trade agreement (FTA) terbilang masih kurang, karena
melihat FTA sebagai ancaman dibandingkan dengan peluang.
Tetapi
pandangan tersebut tidak bisa disalahkan karena kondisi daya saing produk
Indonesia masih kurang, ongkos produksi masih terbilang tinggi, dan daya saing
rata-rata perusahaan Indonesia masih di bawah perusahaan Asia lainnya.
“Itu
merupakan reaksi yang wajar. Tetapi dengan perubahaan sekarang, seharusnya kita
bisa mengubah pola pikir dan harus melihat dari manfaatnya ke depan.”
Adapun,
menurutnya dengan adanya TPP konsekuensi yang akan ditimbulkan adalah adanya
diversifikasi perdagangan di Asean. Jika Indonesia tidak bergabung,
produk-produk ekspor Indonesia seperti tekstil, produk karet, furnitur, dan
produk-produk lainnya akan kalah bersaing dengan negara kompetitor yang
merupakan anggota TPP karena mereka mendapatkan tarif masuk yang lebih
rendah.
Sumber :
Bisnis Indonesia, 10.10.15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar