Bisnis.com, JAKARTA -- Cita-cita
Indonesia menggarap pasar produk halal di tingkat global secara signifikan
terbantu oleh kehadiran Undang-Undang
(UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), yang bakal
diimplementasikan pada 17 Oktober 2019.
Jika UU JPH diimplementasikan dengan
baik, bukan tak mungkin Indonesia bisa menjadi negara eksportir besar produk
halal di dunia.
Produk halal memang punya pangsa
pasar yang luar biasa besar dan terus bertumbuh. Laporan State of the Global Islamic Economy Report (GIER) 2018/19 hasil kolaborasi Thomson Reuters, Dubai the Capital of
Islamic Economy, dan Dinar Standard
menyebutkan perekonomian Islam di seluruh dunia bernilai total US$2,1 triliun
per 2017.
Angkanya diproyeksi meningkat
menjadi lebih dari US$3 triliun pada
2023.
Pasar makanan dan minuman (mamin)
halal, baik untuk populasi Muslim maupun bukan, mencapai US$1,3 triliun pada
2017. Kemudian, pasar busana Muslim sebesar US$270 miliar.
Untuk bidang media dan rekreasi
halal, nilainya US$209 miliar. Sementara itu, perputaran uang di wisata halal
menyentuh US$177 miliar.
Sektor finansial yang sesuai aturan
Islam bernilai US$2,43 triliun, sedangkan obat-obatan dan kosmetik halal
masing-masing sekitar US$87 miliar dan US$61 miliar pada 2017.
Laporan itu juga memprediksi adanya
lonjakan konsumsi atas produk-produk halal hingga beberapa tahun mendatang.
Kenaikan konsumsi seiring proyeksi naiknya jumlah umat Muslim di dunia, yang
diprediksi mencapai 3 miliar jiwa pada 2060.
Dalam menggarap potensi pasar halal
global, ada dua negara yang dianggap memimpin saat ini yakni Malaysia dan Uni
Emirat Arab (UEA). Kedua negara itu unggul karena memiliki ekosistem yang baik
untuk perusahaan penyedia barang dan jasa halal.
Dalam indikator global ekonomi Islam
yang diterbitkan laporan tersebut, Malaysia dan UEA mendapat skor 127 dan 89.
Mereka unggul jauh dari Bahrain (65); Arab Saudi (54); Oman (51), Yordania, Qatar,
dan Pakistan (49); Kuwait (46); serta Indonesia (45).
Secara khusus, Indonesia disebut
telah berhasil melakukan lompatan sehingga masuk jajaran 10 besar negara yang
memegang peran dalam perekonomian Islam di dunia. Umat Islam di Indonesia
diperkirakan menghabiskan US$218,8 miliar uang untuk mengonsumsi segala barang
dan jasa halal pada 2017.
Industrialisasi Produk Halal
Meski menjadi negara dengan penduduk
Muslim terbesar di dunia, Indonesia belum berada pada posisi terdepan dalam
memainkan peran sebagai negara eksportir dan penyedia produk serta jasa halal.
Hal itu diakui Peneliti Ekonomi Syariah
SEBI School of Islamic Economics Aziz Setiawan.
Dia mengatakan saat ini, Indonesia
masih menghadapi kendala untuk memperbesar produksi barang dan jasa halal.
Salah satu kendalanya, belum terciptanya kesadaran pemerintah dan pelaku
industri dalam memproduksi serta memasarkan produk dan jasa halal secara masif.
Aziz menyebut pemerintah dan pelaku
ekonomi harusnya bisa merumuskan strategi untuk membawa Indonesia sebagai
pemimpin dalam perekonomian halal di dunia. Besarnya jumlah penduduk Muslim dan
kekayaan alam di Indonesia menjadi hal yang harus dimanfaatkan maksimal untuk
mendorong naiknya posisi negara di perekonomian halal sedunia.
“Ini harusnya menjadi concern
penting pemerintah, mengingat kondisi hari ini di neraca pembayaran kita kan
defisit semua. Harusnya kita cari peluang baru dan salah satu yang penting
adalah market halal di global yang cukup besar,” ujar Aziz kepada Bisnis, Kamis
(28/2/2019).
Saat ini, Indonesia dinilai belum
memiliki desain industrialisasi produk halal yang kuat. Rencana penerapan UU
JPH bisa menjadi acuan agar pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan
memperbaiki desain industri produk dan jasa halal.
Dia menerangkan salah satu hal yang
bisa dilakukan untuk mendorong tumbuhnya industri produk dan jasa halal adalah
mempercepat proses sertifikasi halal. Penerbitan sertifikat halal dalam waktu
singkat juga harus didukung dengan pembentukan kawasan industri halal.
“Sekarang Malaysia cukup besar
berada di posisi global karena dia bangun cukup banyak halal industrial park,”
tuturnya.
Setelah industrialisasi berjalan
lancar, pemerintah dan pelaku ekonomi diharapkan bisa memasarkan barang dan
jasa halal yang ada agar laku di pasar internasional. Peluang Indonesia untuk
unggul dalam pengadaan barang dan jasa halal terbuka, apalagi jika pelaku
ekonomi bisa melakukan diferensiasi dan branding yang kuat.
Persiapan Pemerintah
Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin)
sadar akan besarnya potensi pasar barang dan jasa halal di tingkat global.
Tetapi, mereka mengakui bahwa saat ini masih terdapat sejumlah kekurangan untuk
mengembangkan industri halal di Indonesia.
Sekretaris Jenderal Kemenperin Haris Munandar mengungkapkan salah satu hambatan yang dihadapi pelaku
industri adalah sertifikasi halal. Adapun hambatan lainnya yakni kurangnya
pasokan bahan baku dari dalam negeri untuk digunakan dalam produksi barang
halal.
Untuk mengatasi berbagai hambatan
itu, pemerintah berjanji mempermudah serta menurunkan tarif sertifikasi halal
bagi industri terutama yang berskala kecil dan menengah. Kemenperin juga akan
mendorong pelaku industri memperbesar produksi barang halal.
“Kita kan yang [sektornya] unggul
ada beberapa, nah itu harus didorong untuk penyediaan bahan bakunya, dan kita
dorong agar mereka [industri] bisa pahami dan menerapkan produksi produk halal.
Persyaratan-persyaratan untuk produk halal itu akan terus kami bina mereka,”
ucapnya kepada Bisnis.
Pemerintah juga memiliki rencana membangun
kawasan industri halal. Sayangnya, belum diketahui di mana dan kapan
pembangunannya bakal dilakukan.
Rencananya, Kemenperin akan
menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) tentang Kawasan Industri Halal pada
tahun ini. Regulasi itu ditargetkan terbit sebelum UU JPH diimplementasikan.
“Kami masih mempelajari
kemungkinannya [Kawasan Industri Halal] dikaitkan dengan pusat-pusat industri.
Bisa didorong di luar Pulau Jawa ya agar lebih merata, itu kan salah satu
program kita,” terang Aziz.
Untuk mengatasi persoalan bahan
baku, Kemenperin mendorong pelaku ekonomi untuk mau berinvestasi dalam
pengadaan bahan-bahan primer untuk sejumlah produk halal. Pelaku industri juga
diminta mencari substitusi barang impor, seperti memanfaatkan produk kesehatan
herbal yang bahan bakunya bisa ditemukan di dalam negeri.
Haris berharap minimal penerapan UU
JPH dapat membentengi pasar di Indonesia dari serbuan produk-produk halal dari
luar negeri. Setelah itu, baru diupayakan agar nilai ekspor produk-produk halal
dari Indonesia naik di tingkat global.
“Kalau untuk ekspor ya kendalanya
dari dalam sendiri. Bagaimana kita bisa berdaya saing kalau nanti biaya untuk
memproduksi produk halal kalah karena mahal?” imbuhnya.
Pendapat serupa dikemukakan Direktur
Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag)
Oke Nurwan. Kemendag mengaku belum mendata berapa nilai ekspor produk halal
dari Indonesia selama ini.
Tetapi, dia yakin potensi
perdagangan barang halal cukup besar untuk dimanfaatkan.
“UU JPH akan lebih mendorong
meningkatnya peredaran produk-produk halal di pasar domestik yang didominasi
masyarakat Muslim. Hal ini tentunya akan membuat produsen meningkatkan
kapasitas produk yang berlabel halal dan mendorong peningkatan ekspor
produk-produk halal ke depannya,” papar Oke kepada Bisnis.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia
(GAPMMI) Adhi Lukman juga menyatakan bahwa
selama ini, industri mamin belum mencatat rapi produksi barang halal dan non
halal. Namun, dia mengakui banyak permintaan produk halal dari sejumlah negara
yang mayoritas negaranya bukan penganut Islam.
“Dari berbagai pameran dan business
matching, permintaan produk halal datang dari berbagai negara termasuk negara
non Muslim seperti China, Jepang, Taiwan, Korea Selatan,” tutur Adhi kepada
Bisnis.
GAPMMI juga sempat menyebut bahwa
mayoritas pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di bidang mamin belum siap
memenuhi kriteria agar produk-produknya mendapat sertifikat halal.
Ketidaksiapan muncul lantaran sosialisasi pemerintah terkait produk halal belum
masif.
Kemudian, pelaku UKM belum
memperhatikan pengetahuan pegawainya ihwal syarat-syarat untuk mendapat
sertifikat halal. Padahal, berdasarkan catatan mereka ada sekitar 1,6 juta
pelaku industri mamin berskala kecil dan menengah di Indonesia serta 6.000
pengusaha berskala menengah dan besar.
“Karena sertifikasi halal kan bukan
hanya sertifikat, tapi bagaimana menerapkan sistem jaminan halal itu di dalam
perusahaan. Di samping itu, Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) kelihatannya perlu banyak
persiapan karena jumlah industri kecil dan rumah tangga mamin kan besar,”
ucapnya.
Sementara itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sempat
menyebutkan bahwa produk halal Indonesia yang diekspor ke negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) baru
mencapai 10,7% dari total produksi. Angka ini di bawah Malaysia yang sebesar
13,8%, UEA 13,6%, dan Arab Saudi 12%.
Jika melihat laporan GIER 2018/19,
ada sejumlah negara yang mungkin membuat orang mengernyitkan dahi karena mampu
mengambil pangsa pasar yang signifikan di sektor terkait halal. Negara-negara
tersebut, di antaranya Australia, Brasil, dan Thailand, menunjukkan bahwa konsumsi
produk dan jasa halal sejatinya tak terbatas bagi umat Muslim.
Hal itu juga sekaligus menggambarkan
besarnya potensi produk dan jasa halal. Pertanyaannya, seberapa siap Indonesia
mengambil porsi?
Sumber : Bisnis, 04.03.19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar