KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pengamat
perkotaan dan transportasi, Yayat Supriatna menilai perang promo
dan diskon yang dilancarkan oleh angkutan daring, adalah siasat wajar untuk
menahan penurunan permintaan karena kenaikan tarif angkutan daring.
"Kita bisa lihat apakah tarif
yang ditentukan pemerintah ini mengikat atau tidak. Jika mengikat tentu ada
sanksi jika melanggar. Sebagai operator dan pelaku usaha, para penyedia jasa
angkutan daring melihat demand masyarakat. Kalau SK yang ditetapkan merugikan
masyarakat karena tarif yang naik, maka wajar ada promo dan diskon. Ini pun
untuk menyiasati penurunan order," jelas Yayat kepada Kontan, Jumat
(10/5).
Lebih jauh, Yayat berkata mekanisme
marketing seperti pemberian diskon dan promo tidak bisa dilepaskan dari
ekosistem bisnis manapun, termasuk penyedia jasa angkutan daring.
"Korporasi hanya membuat
sistem. Apakah sistem tersebut taat dengan regulasi pemerintah? itu
pertanyaannya, sebab jarang pelaku usaha yang ingin dibatasi geraknya. Mereka
(penyedia jasa angkutan daring) pun perlu mempertahankan bisnisnya,"
lanjut Yayat.
Sebagai informasi, pemerintah
melalui Kementerian Perhubungan mengeluarkan surat keputusan tentang Pedoman
Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan Untuk Kepentingan
Masyarakat Yang Dilakukan Dengan Aplikasi, atau Kepmenhub Nomor 348 Tahun 2019.
Dengan SK tersebut, besaran
tarif ojek online (ojol) per 1 Mei 2019, untuk wilayah Jabodetabek misalnya,
ditetapkan batas bawahnya sebesar Rp 2.000 per km dan tarif batas atas dipatok
sebesar Rp 2.500 per km. Sementara untuk biaya jasa minimal dikenakan sekitar
Rp 8.000 per km - Rp10.000 per km.
Berangkat dari beleid di atas, Yayat
berkata, pemerintah dan korporasi sebaiknya bekerjasama memperhitungkan tarif
sesuai dengan latar belakang penggunanya di tiap kota.
Ia memberikan contoh, bagi pekerja
sekaligus pengguna fasilitas angkutan daring di daerah Jabodetabek, kenaikan
tarif angkutan daring sebesar 15%-20% dipastikan membuat mereka mencari
alternatif transportasi lain.
Dalamnya penetrasi ojol dalam
keseharian masyarakat, membuat kenaikan tarif menjadi pukulan berat untuk
masyarakat yang setiap hari bergantung pada moda transportasi ini.
"Dengan demikian, perlu
melihat UMR, dan latar belakang pendapatan, dan pendidikan pengguna di tiap
kota. Sebab, tiap kota memiliki karakter dan pola sendiri. Tak bisa dipukul
sama di tiap kota. Korporat punya datanya tapi mereka biasanya kurang
terbuka soal ini," ujarnya.
Yayat berkata, selama ini penetapan
tarif angkutan daring ditentukan dari biaya operasional langsung dan tidak
langsung. "Biaya tersebut terdiri dari jarak, operasional dan rupiah yang
dihabiskan tiap kilometer, nah dari sana keluar satuan rupiah atau willingness
to pay," jelas Yayat kepada Kontan, Jumat (10/5).
Ia berpendapat penentuan tarif angkutan
daring akan lebih baik bila dibebankan kepada pemerintah melalui sistem tarif
subsidi atau public service operation (PSO). "Jadi pemerintah membayar
selisih dari pembiayaan operasional yang dikeluarkan perusahaan, dengan tarif
pendapatan. Ini dapat membuat perusahaan tetap sehat," jelas Yayat kepada
Kontan, Jumat (10/5).
Namun jika PSO diberlakukan,
terdapat kemungkinan munculnya ketimpangan lain sebab beban perusahaan penyedia
jasa makin mengecil. Penyedia jasa bisa jadi akan hanya menanggung beban operasional
sebesar 20% -30%, sementara sisanya ditanggung oleh pengemudi.
"Mereka kan penyedia jasa ya,
tidak mengeluarkan motor, mobil, atau apapun. Selama ini driver lebih banyak
menanggung semua. Nah ini yang tidak bisa terjadi," pungkas Yayat.
Sumber : Kontan, 10.05.19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar