Liputan6.com, Jakarta : Bangkrutnya maskapai penerbangan
Batavia Air semakin memperteguh anggapan bahwa angkutan udara bisnis ini
memiliki risiko yang sangat besar. Ketatnya persaingan disertai ketentuan ketat
dan permodalan besar menuntut pengelola bisnis ini harus pintar mencari celah
untung.
Telah banyak pengusaha bahkan mantan presiden yang
mencoba peruntungan dalam bisnis padat modal ini, namun akhirnya harus rela
melikuidasi perusahaan.
Pengamat penerbangan, Alvin Lie, saat diwawancarai
Liputan6.com menilai ada banyak hal yang menyebabkan banyak maskapai nasional
bertumbangan. "Ini terjadi meski industri penerbangan nasional sedang
tumbuh," ujar dia.
Mengutip dari berbagai sumber, berikut adalah para
pengusaha yang gagal meretas bisnis di industri penerbangan nasional
1. Air Wagon Internasional Airline (Awair)
Pendiri: Abdurrahman Wahid dan 4 orang lainnya
Kurang dari sebulan sebelum pengangkatan dirinya sebagai
Presiden RI ke-4 di Indonesia, Abdurrahman Wahid atau tenar dikenal Gus Dur
tiba-tiba mencoba peruntungannya di bisnis penerbangan.
Gusdur bersama empat orang pendiri lainnya membangun
maskapai penerbangan Air Wagon Internasional Airline (Awair). Banyak pihak yang
memelesetkan singkatan tersebut menjadi Abdurrahman Wahid Air. Maskapai ini
memperoleh izin dari Departemen Perhubungan pada 2000.
Sejak dipastikan melenggang sebagai orang nomor satu di
Indonesia, Gus Dur memilih mundur dari Awair dan menyisakan empat orang pendiri
dalam jajaran perusahaan. Enam bulan setelah Gus Dur muncur, langkah yang sama
diambil pendiri lainnya. Otomatis daftar pendiri Awair tinggal tersisa tiga
orang.
Maskapai penerbangan ini pun hanya bisa melayani pengguna
jasa angkutan udara selama setahun sejak memperoleh izin. Awair akhirnya
terpaksa menghentikan operasional bisnisnya.
Berbeda dengan maskapai lain, nasib beruntung menaungi
Awair yang diambil alih oleh Air Asia. Investor baru ini pun mengubah orientasi
bisnis perusahaan menjadi maskapai penerbangan berbiaya rendah dan mengganti
nama Awair menjadi PT Indonesia Air Asia.
2. Sempati Air
Pemegang Saham: Tri Usaha Bhakti, Nusamba (Bob Hasan),
Humpuss (Hutomo Mandala Putra)
Perusahaan yang awalnya hanya angkutan sewaan untuk
pekerja Migas ini menjelma menjadi maskapai penerbangan kelas atas terhitung
sejak 1989. Hal ini tak terlepas dari langkah ekspansif perusahaan yang
mendatangkan 6 pesawat baling-baling F-27. Setahun kemudian pemerintah
memberikan izin kepada Sempati untuk menambah pesawat jet.
Nama Sempati diambil dari nama manusia elang raksasa,
kakak dari Jatayu. Dimata banyak orang, Sempati dianggap akronim sindiran
Sembilan Panglima Tinggi karena merupakan usaha penerbangan charter dari PT Tri
Usaha Bahkti (Truba) dari Yayasan Kartika Eka Paksi yang tak lain adalah milik
pimpinan tinggi Angkatan Darat.
Semula pemilik saham Sempati dikuasai oleh tiga pihak
yaitu Nusantara Ampera Bakti (Nusamba) lewat tokohnya Bob Hasan yang memiliki
35%, Truba (40%), dan Humpuss (25%). Masuknya Asean Aviation Inc (AAI) membuat
porsi saham ketiga pemilik bisnis ini menciut.
Disebut-sebut salah satu pemegang saham Sempati adalah
putra mantan presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra yang berposisi sebagai
presiden komisaris.
Ambisi untuk menjadi maskapai penerbangan terbesar
Indonesia mulai menunjukan gejala kurang menggembirakan ketika perusahaan batal
menggelar penawaran umum perdana saham (IPO) pada 1996. Tumpukan utang ditambah
ketidakberesan kinerja keuangan membuat Sempati makin limbung di tengah
ketatnya persaingan bisnis.
Badai besar melanda Sempati ketika Indonesia terserang
krisis moneter parah pada 1997. Berbagai efisiensi dengan menghilangkan layanan
inovasi khas Sempati membuat konsumen loyal kabur.
Anjloknya kurs rupiah hingga Rp 17 ribu per dollar AS
dari sebelumnya di kisaran Rp 2.000 membuat pendarahan pada kinerja keuangan
Sempati. Maklum penerimaan yang diterima perusahaan dalam bentuk rupiah
sementara utang yang harus dibayar menggunakan denominasi dolar AS.
3. Adam Air
Pendiri: Sandra Ang, Agung Laksono,
Pemegang saham: Sndra Ang, Adam Suherman (hingga 2007)
dan Harry Tanoesudibjo lewat PT Bhakti Investasma hingga 2008
Tak ada maskapai yang paling diingat masyarakat Indonesia
akibat kecelakaannya selain Adam Air. Pada 1 Januari 2007, sebanyak 96
penumpang dan 6 awak hingga saat ini masih hilang akibat kecelakaan pesawat di
perairan Majene, Sulawesi Barat.
Usai kecelakaan besar tersebut, nasib Adam Air seolah
sedang menuju kebangkrutannya. Pada 18 Maret 2008, izin terbang dicabut
Departemen Perhubungan yang menyatakan Adam Air tidak diizinkan lagi
menerbangkan pesawatnya berlaku efektif mulai pukul 00.00 tanggal 19 Maret
2008. Sedangkan AOC (Aircraft Operator Certificate)-nya juga ikut dicabut pada
19 Juni 2008, yang berarti mengakhiri semua operasi penerbangan Adam Air.
Bernama resmi, PT Adam SkyConnection Airlines, Adam Air
didirikan oleh Sandra Ang dan Agung Laksono, mantan Ketua DPR RI. Maskapai ini
mulai resmi beroperasi pada 19 Desember 2003.
Munculnya berbagai insiden dan kecelakaan maskapai
penerbangan di Indonesia menjadi mimpi buruk bagi Adam Air. Hasil pemeringkat
Departemen Perhubungan menempatkan Adam Air pada peringkat II yang berarti
hanya memenuhi syarat minimal keselamatan.
Akibatnya, Adam Air mendapat sanksi administratif yang
ditinjau ulang kembali setiap 3 bulan. Setelah tidak ada perbaikan kinerja
dalam waktu yang ditetapkan, Air Operator Certificate Adam Air kemudian
dibekukan.
Adam Air sebetulnya berpeluang diselamatkan ketika April
2007, PT Bhakti Investama melalui anak perusahaannya Global Air Transport
membeli 50% saham Adam Air dari keluarga Sandra Ang dan Adam Suherman. Sayang
tak adanya perbaikan keselamatan dan transparansi membuat anak perusahaan dari
Harri Tanoe Sudibjo ini menarik seluruh sahamnya pada 14 Maret 2008.
4. Bouroq Indonesia Airlines
Pendiri dan Pemegang saham: Jarry Albert Sumendap
Maskapai penerbangan yang berdiri sejak April 1970-an
memiliki pusat operasional di Jakarta dan Balikpapan. Bouroq merupakan
perusahaan penerbangan yang didirikan oleh JA Sumendap berambisi menjadi
maskapai yang mampu menghubungkan Kalimantan dengan beberapa daerah lain di
Indonesia.
Untuk menambah kekuatan bisnisnya, Sumendap juga memiliki
maskapai penerbangan lain Bali Air yang menjalin kerjasama dengan Bouroq.
Berkekuatan armada Douglas DC-3s dan turboprop Haweker
Siddeley HS 748, Bouroq dan Bali Air mampu melayani penerbangan domestik.
Sayang krisis keuangan yang melanda membuat kedua maskapai ini menutup
operasionalnya pada 2005.
Penerbangan terakhir Bouroq berlangsung pada Juli 2005
dan pada 2007 izin penerbangan Bouroq dicabut otoritas berwenang.
5. Linus Air
Pendiri: Julius Indra
Linus Airways adalah salah satu maskapai penerbangan
regional Indonesia. Maskapai ini melayani beberapa kota di Indonesia antar lain
Pekanbaru, Medan, Semarang, Palembang, Batam dan Bandung. LINUS sendiri
merupakan kependekan dari "Lintasan Nusantara". Linus Airways
berbadan hukum perseroan PT Linus Airways sejak 1 Juni 2004 ini, baru
mengantongi izin terbang (Air Operator Certificate/AOC) no 121-029 dari
Departemen Perhubungan sejak 13 Februari 2008.
Dikarenakan alasan kesulitan likuiditas maka terpaksa
pemerintah secara resmi telah mencabut izin rute Linus Air, sehingga
menghentikan layanannya sejak 27 April 2009.
Berbekal pengalaman sebagai pencarter, Indra mengibarkan
bendera Linus (Lintas Nusantara) Airways dengan modal sekitar Rp 100 miliar.
Menyadari tidak punya pengalaman di bisnis ini, Indra mengajak beberapa orang
yang punya jam terbang bergelut di bisnis penerbangan. Beberapa nama yang
diajaknya mendirikan Linus,
antara lain: Capt. D. Andhika R. (Direktur
Pengelola), Harry Priyono (Direktur Komersial), Capt. Tutang dan Hari Subowo
(Direktur Teknik). Tiga nama pertama merupakan mantan eksekutif pentolan di
Sriwijaya Air.
6. Jatayu Gelang Sejahtera (Jatayu)
Pendiri: Wienardi Lie (CEO Trophy Tour & travel)
Jatayu Gelang Sejahtera atau Jatayu Airlines merupakan
salah satu maskapai penerbangan yang memanfaatkan kesempatan dibukanya keran
investasi di sektor ini. Berbasis di Jakarta, Jatayu melayani penerbangan
domestik dan internasional sejak 2000.
Sayangnya ketidakmampuan perusahaan memenuhi sejumlah
kualifikasi keselamatan penerbangan, memaksa pemerintah mencabut izin terbang
atau AOC pada 26 Juni 2007. Departemen Perhubungan sebetulnya telah memberikan
tenggat waktu 3 bulan agar perusahaan masih bisa merestrukturisasi bisnisnya.
Namun hingga batas waktu yang diberikan, Jatayu bersama
tujuh maskapai lainnya gagal memenuhi ketentuan yang diminta.
7. Batavia Air
Pendiri: Yudiawan Tansari
Batavia Air memulai bisnisnya sejak tahun 2002. Yudiawan
Tansari merupakan pemilik dari perusahaan yang bermula dari bisnis keluarga
tersebut. Sejak saat itu, Batavia terus berkembang menjadi maskapai penerbangan
domestik dan tumbuh siginifikan.
Sebelum mendirikan maskapai penerbangan Batavia, Yudiawan
sebetulnya telah berkecimpung dalam dunia penerbangan dengan mendirikan
perusahaan jasa travel, PT Setia Sarana Tour & Travel pada 1973. Berbekal
pengalaman selama dua dekade ini, Yudiawan memutuskan untuk masuk dalam bisnis
penerbangan.
Pada 2006, Yudiawan sebetulnya telah memiliki rencana
untuk menjual bisnis keluarganya tersebut. Namun hasrat tersebut diurungkan.
Seiring waktu, Batavia sebetulnya berpeluang untuk
menjual bisnisnya setelah raksasa penerbangan murah asal Malaysia, Air Asia,
berminat membeli 100% saham perusahaan. Sayangnya pada Oktober 2012, Air Asia
Berhad dan mitranya PT Fersindo Nusaperkasa memutuskan membatalkan rencana
pembelian saham Batavia. Air Asia memilih untuk mengajak kerjasama operasional
dengan perusahaan tersebut.
Kendati masih bisa beroperasi beberapa tahun, kesulitan
keuangan dan makin ketatnya persaingan membuat operasional Batavia Air makin
pincang. Puncaknya terjadi ketika International Lease Finance Corporation
(ILFC) mengajukan gugatan pailit PT Metro Batavia ke Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat. Palu hakim akhirnya memutuskan mengabulkan permohonan tersebut. Batavia
mungkin takkan lagi terlihat di langit nusantara.(Shd)
Sumber : Liputan6, 05.02.13.