Bisnis.com, JAKARTA — Amandemen
UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan dinilai sangat mendesak dilakukan
lantaran sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan kondisi industri domestik
saat ini.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin)
Indonesia Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J. Supit mengatakan, UU Ketenagakerjaan sudah usang dan tidak
bisa lagi bisa menjawab tantangan di dunia ketenagakerjaan saat ini.
“Memang sudah ada rencana untuk
merevisi UU ini dan isunya sudah bergulir lama. Namun, ini harus segera
dilakukan pada tahun ini dan tahun depan karena memang reformasi tenaga kerja
dan amandemen ini perlu,” ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (14/1/2019).
Adapun, para pelaku industri
menilai, salah satu poin yang perlu direvisi dalam aturan itu yakni terkait
dengan pemberian pesangon. Di dalam regulasi, pesangon bisa diberikan lebih
dari 32 kali lipat gaji bulanan apabila suatu perusahaan tutup atau pailit.
Padahal, tegas Anton, investasi tak
selalu membawa untung. Ketika investor menanam modal selama 10 tahun, tetapi
akhirnya perusahaannya tutup dan harus membayar 32 kali gaji, tentu akan sangat
memberatkan perusahaan.
Menurutnya, keberadaan UU ini juga
tak sesuai dengan kemajuan ekonomi digital dan kondisi dunia usaha saat ini.
“Ada banyak poin yang harus direvisi, saya harus cek lagi detailnya,” katanya.
Senada, Ketua Asosiasi Pengusaha
Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani berpendapat, aturan ketenagakerjaan sekarang
membuat fleksibilitas dalam pembukaan lapangan pekerjaan menjadi bermasalah.
Saat ini terdapat perubahan pola
antara pemberi kerja dan penerima kerja. Jika dulunya pola pengupahan
didominasi oleh relasi pemberi dan penerima upah, saat ini berubah menjadi
sistem kemitraan antara pengusaha dan masyarakat.
“Contohnya, perusahaan Go-Jek,
di mana saat ini mereka menggunakan program kemitraan. Aturan tenaga kerja saat
ini tak bisa mengakomodasi itu sehingga perlu diubah,” katanya.
Selain itu, lanjutnya, investasi
yang masuk ke Indonesia sejak 2010 hingga 2018 mengalami peningkatan yang cukup
tinggi. Namun, angka penyerapan lapangan kerja pada periode tersebut sangat
kecil.
“Pada 2010, penyerapan tenaga kerja
per Rp1 triliun [investasi] mampu menyerap 5.020 pekerja. Namun, pada 2016
hanya bisa menyerap 2.200 pekerja dan ini berbeda dari tahun kemarin yang
penyerapan tenaga kerjanya semakin sedikit,” ucapnya.
Ditambah lagi, tutur Hariyadi,
kebijakan kenaikan upah minimum yang sesuai dengan kondisi ekonomi dan inflasi
juga berdampak pada banyak terpuruknya iklim industri, terutama untuk yang
skala kecil.
Pasalnya, pemerintah menganggap
industri di Tanah Air ini mampu mengikuti standar upah yang ditetapkan dan
mereka yang tak mampu mengikuti mau tak mau harus tutup.
“Sentra-sentra padat karya seperti
di Jawa Barat banyak yang tutup semua karena enggak bisa bertahan, terutama
untuk skala kecil, sehingga UU ini memang sangat mendesak direvisi. Saat ini,
yang kebanyakan investasi di sini itu industri padat modal, seperti perusahaan
dagang-el,” tuturnya.
Menurutnya, lesunya angka serapan
tenaga kerja juga dipicu oleh terjadinya ketidaksinkronan antara kompetensi
yang dimiliki tenaga kerja dengan kebutuhan industri.
Hal ini menjadi permasalahan yang
harus diselesaikan bersama karena setiap tahunnya angkatan kerja bertambah,
tetapi berbanding terbalik dengan jumlah serapan tenaga kerja.
“Keadaan industri ini tidak dalam
keadaan baik, karena [kapasitas] industri dalam menyerap [tenaga kerja] kecil.
Ditambah lagi, kita menyongsong industri 4.0 yang menuntut peningkatan
efisiensi ekonomi. [Angkatan kerja] Keluar perusahaan [formal], lalu membuat
usaha sendiri yang bekerja sama dengan perusahaan dagang-el. Mereka juga rentan
terkena perubahan pasar ke depannya,” terangnya.
Meski pemerintah memiliki program 10
juta lapangan kerja dalam waktu 5 tahun, lanjutnya, target tersebut harus
diimbangi dengan pemetaan yang jelas terhadap sektor industri mana saja yang
mampu menyerap banyak tenaga kerja.
“Saya menduga program pemerintah ini
kebanyakan [untuk pekerjaan] informal dan yang produktivitasnya rendah,” ujar
Hariyadi.
KENAIKAN PRODUKTIVITAS
Di sisi lain, Kepala Bappenas Bambang
Brodjonegoro mengakui, penyerapan lapangan kerja dalam beberapa tahun
terakhir tidak didukung dengan peningkatan produktivitas. Produktivitas
Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Bambang memaparkan, sebesar 60%
pekerja Indonesia bergerak di sektor informal yang produktivitasnya kurang,
sementara 40% lainnya di sektor formal.
“Bagaimana kita mau sejajarkan diri
dengan negara tetangga? Di sini kekurangan basis sektor [lapangan kerja] yang
punya produktivitasnya tinggi, serta kekurangan sarana dan prasarana pelatihan,
baik untuk angkatan kerja baru maupun tenaga kerja aktif. Mereka kesulitan
melakukan upskilling dan reskilling,” ucapnya.
Selain itu, kata Bambang, lebih dari
55% orang yang lulus pendidikan formal tidak memiliki kompetensi khusus. Sektor
pendidikan di Indonesia juga dinilai hanya fokus pada sisi akademis saja,
tetapi kurang ada penekanan dari sisi softskill.
“Di Vietnam, hanya 14% yang lulus
pendidikan formal tapi tidak bisa meningkatkan kompetensi. Memang, Indonesia
baru berhasil di pendidikan formal, tapi meningkatkan kualitas SDM masih
ketinggalan,” tutur Bambang.
Dia menyebutkan, revolusi industri
4.0 yang terjadi menyebabkan perubahan besar pada sektor ketenagakerjaan akibat
banyak lapangan pekerjaan yang hilang dan digantikan otomatisasi.
“Ditambah lagi, ada kekurangan
tenaga menengah dan tenaga ahli. Contohnya profesi insinyur. Ada lulusan 600.000
insinyur, tetapi yang aktif atau bekerja sesuai profesinya hanya 9.000
orang,” ujarnya.
Guna menjembatani permasalahan itu,
pemerintah memiliki program skill development fund (SDF) dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024 yang tujuannya
memberikan kemudahan bagi tenaga kerja yang aktif maupun yang baru masuk untuk
upskiling dan reskiling.
“Sekarang terhambat karena lembaga
pelatihan tidak terlalu banyak dan biayanya dianggap memberatkan. Dengan skill
development fund, kami harapkan sebagian kendala bisa teratasi, sehingga tipe
pekerjaan yang terancam oleh revolusi industri 4.0 bisa digantikan dengan
kompetensi yang lain,” kata Bambang.
Pada kesempatan yang sama, Menteri
Keuangan Sri Mulyani menuturkan,
pmempersiapkan SDM yang berkualitas harus dilakukan sejak dini. Untuk itu, pemerintah mengalokasikan anggaran
senilai Rp660 triliun untuk pendidikan dan kesehatan pada 2019. Besarnya
anggaran tersebut dipersiapkan untuk investasi SDM di Tanah Air.
“Untuk pendidikan, alokasi anggaran
yang disiapkan sebesar Rp495 triliun. Sementara itu, di sektor kesehatan,
pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp120 triliun,” katanya.
Sumber : Bisnis, 15.01.19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar