JAKARTA, KOMPAS.com — Dampak kondisi ekonomi yang buruk di Eropa dan Amerika Serikat dirasakan Indonesia dalam bentuk fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Di sisi lain, cadangan devisa Indonesia tak sebesar China.
Perdana Wahyu dari Sabang-Merauke Circle mengemukakan hal itu di Jakarta, Senin (19/9/2011). "Cadangan devisa Indonesia terbatas. Kalau krisis 6 bulan, mungkin kuat. Kalau lebih dari 6 bulan, bagaimana?" kata Perdana.
Saat ini cadangan devisa berjumlah 122 miliar dollar AS. Angka itu turun 2,6 miliar dollar AS karena digunakan untuk intervensi pasar menjaga kestabilan nilai tukar rupiah dan membayar utang luar negeri pemerintah.
Perdana lantas mempertanyakan manajemen protokol krisis di Indonesia. "Di anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan, misalnya, tidak ada anggaran mengatasi krisis," tambahnya.
Direktur Riset dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan, sebenarnya tiap-tiap pihak di Indonesia sudah memiliki sistem dan mekanisme mengatasi krisis. Namun, mereka saat ini masih berjalan sendiri-sendiri. Pemerintah berjalan sendiri, Bank Indonesia juga berjalan sendiri. Untuk itu, diperlukan sistem yang terintegrasi.
"Saat ini belum ada sistem yang terintegrasi sebagai protokol menangani krisis," ujar Perry. Direktur Utama Nikko Securities Harianto Solichin berpendapat, foreign direct investment (FDI) atau investasi langsung menjadi angin segar dalam kondisi seperti saat ini.
Harianto lantas menyebutkan sejumlah perusahaan yang akan menanamkan investasi di Indonesia. Perusahaan itu antara lain Toyota Motor dengan investasi Rp 3,31 triliun pada tahun 2013 dan Procter & Gamble sebesar Rp 1 triliun pada tahun 2012. Ada juga Nestle dengan investasi Rp 2 triliun pada tahun 2012 dan Unilever dengan investasi Rp 3,6 triliun pada tahun 2012.
Sumber : Kompas, 20.09.11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar