Oleh Arief Budisusilo
Jangan kaget jika anak kesayangan Anda, yang sedang gandrung Internet, tiba-tiba mengajukan fakta sejarah baru. Disebutkan, negara yang memiliki populasi ketiga terbesar di dunia adalah “Republik Facebook”. Ia telah mengalahkan Amerika, Rusia, apalagi Indonesia.
Ya. ‘Fakta sejarah’ itu tidak terlalu keliru. Facebook kini memiliki user atau pengguna aktif sedikitnya 800 juta. Artinya, kalau disandingkan dengan populasi negara, dia berada pada urutan ketiga setelah China dan India.
Setidaknya itulah angka statistiknya, jika kita melakukan penelusuran data dari Prof. Google. Disebutkan, Facebook kini memiliki lebih dari 800 juta user aktif, dimana lebih dari 50% user log on alias membuka akunnya setiap hari. Setiap user rata-rata memiliki 130 teman, di mana lebih dari 900 juta obyek menjadi bahan gunjingan karena jaringan pertemanan yang saling tertarik terhadap objek tersebut.
Menariknya, sebanyak 75% atau tigaperempat pengguna Facebook berasal dari luar Amerika Serikat, di mana Indonesia merupakan pengguna terbesar kedua setelah AS. Karena besarnya jumlah pengguna itu, jangan heran jika di Facebook tersedia 70 bahasa, dengan bantuan translasi atau penerjemahan dari lebih 300.000 user seluruh dunia.
Tidak hanya itu, setiap user rata-rata terhubung dengan 80 halaman komunitas, grup, atau event, dan lebih dari 2 miliar material yang ditayangkan (posted) oleh user mendapatkan label jempol alias disukai atau mendapatkan komentar.
Ingin tahu lagi? Oke. Lebih dari 250 juta foto dilempar (di-upload) di Facebook tiap hari. Lalu terdapat sedikitnya 7 juta aplikasi yang sudah terintegrasi di Facebook, yang digunakan oleh 500 juta user. Setidaknya, lebih dari 20 juta kali instalasi aplikasi oleh pengguna saban hari.
Last but not least, lebih dari 350 juta user aktif mengakses Facebook via perangkat mobile seperti handphone, smartphone dan komputer tablet. Karena itu, masuk akal jika kini terdapat 475 operator mobile di seluruh dunia yang getol mempromosikan produk “FB mobile”.
‘Fakta sejarah’ itu menggambarkan bahwa penyebaran teknologi menjalar begitu cepat seperti penyebaran flu burung yang tak terbendung.
Bahkan Erik Johnson, yang bekerja sebagai eksekutif pemasar Facebook, mengaku nggak nyangka penduduk Facebook hampir menyamai penduduk India dalam waktu secepat ini.
Banyak orang, dari berbagai latar belakang dan pekerjaan yang berbeda, telah memanfaatkan dan menggunakan Facebook dalam berbagai cara untuk tujuan mereka masing-masing.
Maka, di tataran global, batas negara alias nation border telah tergantikan dengan koneksi: menghubungkan orang dengan teman-teman untuk hal-hal yang mereka sama-sama peduli.
Aktivitas virus teknologi terhadap kehidupan sehari-hari di berbagai bidang menjalar tanpa halangan tembok, dengan munculnya jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter.
Maka tantangan baru muncul bagi pemerintahan dan perusahaan, karena frekuensi dan amplitudo perubahan semakin meningkat. “Selalu siap menghadapi kejutan,” barangkali kalimat itu menjadi pesan yang paling penting.
***
Apabila Anda menganalogikan Facebook sebagai sebuah negara demokratis, ia telah menjadi negara demokratis terbesar kedua di dunia setelah India. Karenanya, para ahli strategi global, ahli politik, ahli manajemen perusahaan, dan ahli pemasaran kini banyak menghitung Facebook sebagai salah satu pivotal factor atau faktor penentu yang telah mengubah dunia.
Memang, setuju atau tidak, suka atau tidak suka, hubungan kemajuan teknologi dengan global shock kini menjadi perbincangan di mana-mana. Perkembangan teknologi yang begitu kencang telah meningkatkan kecemasan tentang dampaknya terhadap pergerakan politik, keamanan, militer, dan interaksi ekonomi. Pengaruhnya bisa positif, tetapi terlebih juga dapat bersifat negatif.
Merujuk revolusi Facebook, paling tidak ia telah menjadi salah satu alat pengubah yang efektif bagi demokratisasi, seperti yang baru-baru ini terjadi di Mesir, serta perubahan di Lybia dan negeri Timur Tengah seperti Syria yang sekarang sedang menjadi topik Barat. Gelombang kejutan muncul satu demi satu sebagai dampak revolusi media sosial, di mana Facebook hanya salah satu alat di belantara media sosial.
Menurut istilah Andrew Sheng, Presiden Fung Global Institute yang berbicara pada Singapore Global Forum pekan ini, kemajuan teknologi yang pesat di satu sisi dapat menyediakan pemahaman yang cepat melalui apa yang disebut flash training.
Istilah itu dipakai mengingat saking kencangnya perubahan, seperti kilatan lampu blitz kamera Anda. Namun di pihak lain juga begitu cepat menimbulkan flash mob seperti revolusi politik yang terjadi di Timur Tengah dengan munculnya gejala demokratisasi yang disebut Arab Spring.
Di bidang bisnis, jika hampir semua urusan di masa lalu merupakan wilayah perusahaan atau company in control, kini berubah menjadi consumer in control. Kasus Prita yang berurusan dengan sebuah Rumah Sakit swasta besar di Tangerang, adalah contoh nyata di mana konsumen yang didukung aktivitas media sosial telah begitu rupa mengendalikan kepentingan perusahaan.
Maka, dalam situasi seperti itu, ada nasehat yang perlu kita dengar: Interupsi atau instruksi perlu berubah menjadi partisipasi, privacy harus menjelma menjadi transparansi. Tapi konyolnya, RoI pun kini dipelesetkan menjadi return on involvement, bukan lagi return on investment. Mungkin, maksudnya tolok ukur keterlibatan dalam teknologi!
***
Oleh sebab itu, saya tak terlalu kaget ketika mendengar David Sifry, pendiri Technorati, yang begitu percaya bahwa teknologi punya implikasi politik signifikan hari ini. Teknologi telah mendorong percepatan perubahan dalam globalisasi, demokratisasi, dan desentralisasi.
Lihat saja revolusi Mesir beberapa waktu lalu, yang terbangun berkat gerakan media sosial. Pada 1979, saat revolusi Iran terjadi, teknologi juga memegang peranan penting.
Begitu pula saat ini, ketika krisis global berkecamuk, Anda setiap saat bisa berpindah akun atau melakukan transaksi menyusul informasi yang tersedia real time dari perkembangan pasar di berbagai belahan dunia, berkat apa yang disebut revolusi mobile!
Maka, akan lebih baik selalu pasang sabuk pengaman supaya tidak tumbang. Resepnya barangkali bisa kita dengar dari Mr Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura.
Dalam berbagai pidatonya, Mr Lee selalu mengulang-ulang apa yang membawa Singapura menempati posisi yang kokoh seperti sekarang ini, yakni good governance, antikorupsi, meritokrasi, dan pragmatis.
“Jika Anda hilangkan salah satu faktor itu, Anda akan kehilangan momentum,” begitu kata Mr Lee dengan logat yang masih tegas dan fasih, meski sudah uzur dalam usia 88 tahun.
Mr Lee memang diberondong dengan berbagai pertanyaan, yang barangkali lebih tepat disebut sebagai permintaan nasehat dari peserta dialog berbagai negara, mulai dari India, China, Korea Selatan, dan bahkan Afrika.
Seperti kata Mr Lee, Singapura memang pragmatis. Sepanjang ada mutual benefit, Singapura siap bekerjasama dengan siapapun, dan bermitra dengan negara tetangga dengan saling menguntungkan.
Namun diakui atau tidak, Singapura kini mulai khawatir terhadap dampak teknologi, yang diperkirakan oleh sejumlah kalangan akan memaksa negara itu untuk membuka diri ke arah demokratisasi.
Soal pidato Lee, kebetulan saya sempat ngobrol dengan anak muda dari Singapura. Bisik-bisik dia mengatakan, sosial media di Singapura mulai bekerja. Bahkan kini banyak ekspektasi, cepat atau lambat, demokratisasi menjadi tuntutan pula di Singapura.
“Anda beruntung, karena tidak ada kesenjangan kaya-miskin yang lebar di Singapura,” saya bilang ke teman ngobrol itu. “Ah, gap antara yang kaya dan yang miskin sekarang ini juga semakin melebar di Singapura,” ungkapnya dengan berbisik.
“Korupsi juga ada...dengan bentuk yang berbeda dari korupsi [yang makin merajalela] di Indonesia,” ujarnya melanjutkan lagi. Sayangnya teman ngobrol ini menyebut contoh Indonesia.
Saya kian kecut ketika teman ngobrol yang lain, eksekutif perusahaan energi yang sedang mengincar Blok Natuna, juga memakai contoh Indonesia soal korupsi.
Seorang pimpinan perusahaan multinasional yang belakangan ini membuka 14 pompa bensin di Indonesia dengan berbisik mengatakan akan menghentikan bisnis ritelnya di Indonesia karena bisnisnya banyak dihalangi oleh kepentingan-kepentingan elite Jakarta.
Nah, lho! Bagaimana menurut Anda?
Sumber : Bisnis Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar