KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tak ada
gading yang tak retak. Tampaknya pepatah tersebut dapat menggambarkan kisah
berakhirnya perjalanan bisnis PT Sariwangi Agricultural Estate Agency
(SAEA) pencipta brand teh celup Sariwangi. Meski
bertahun-tahun brand teh celupnya hadir mulai dari warung makan, restoran dan
kafe, sampai sudut dapur diseluruh Indonesia, hal itu tak menjadi jaminan
bisnis perusahaan bakal panjang umur.
Ketukan palu dari Majelis
Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Kamis, (16/10) resmi
menyatakan status pailit kepada PT SAEA dan PT Maskapai Perkebunan Indorub
Sumber Wadung, yang keduanya merupakan perusahaan perkebunan teh.
Majelis hakim mengabulkan permohonan
pembatalan perdamaian atau homologasi dari pemohon (PT Bank ICBC Indonesia),
dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa SAEA dan Indorub telah terbukti lalai
menjalankan kewajibannya sesuai rencana perdamaian dalam proses Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terdahulu.
Padahal perusahaan ini sudah berdiri
sejak tahun 1973, di mana Johan Alexander Supit pendiri PT
SAEA mempelopori produk teh kantong celup yang saat itu diterima positif oleh
pasar lantaran kepraktisannya. Sebelum mendirikan perusahaan pengolahan teh
sendiri, pada tahun 1962 Supit muda sudah malang melintang di industri
perkebunan teh.
Pada awal tahun 1970 Supit belum
memiliki kebun teh sendiri, namun sudah memulai bisnisnya berdagang teh. Baru
tahun 1972, ia mulai usaha pengolahan, yaitu membuat teh celup yang sekarang
produksinya diekspor ke berbagai negara
Hingga satu tahun kemudian pabrik
pertama didirikan dan beroperasi, cukup banyak prestasi manis yang dicapai.
Salah satunya ekspor pada tahun 1985, penjualan brand Sari Wangi merambah
hampir seluruh negara, seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Timur
Tengah, Rusia dan baru-baru ini Malaysia.
Di tengah booming industri teh,
perusahaan multinasional mulai mendekati para pemilik perkebunan teh. Salah
satunya PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) yang pada tahun 1989
mengakuisisi brand Sari Wangi milik PT SAEA.
Seiring perkembangan konsumsi teh,
pabrikan SAEA tercatat sempat memiliki kapasitas produksi mencapai 40.000-50.000
ton setiap tahunnya. Memiliki kebun teh sendiri seluas 3.500 hektar di
daerah Sukabumi dan Ciwidey, Jawa Barat, grup perusahaan Sariwangi sempat
mencatatkan penjualan pada tahun 2011 senilai US$ 85,23 juta.
Namun prestasi manis tersebut harus
berakhir di tahun ini. Di mana sejak 2015 lalu PT SAEA dinyatakan memiliki
tagihan kredit utang bermasalah kepada Bank ICBC Indonesia dengan nilai mencapai Rp
1,05 triliun.
Seolah telah mencium gelagat
kegagalan bayar utang itu, UNVR yang memegang brand Sariwangi sejak awal tahun
2018 telah memutuskan kerjasama dengan PT SAEA. Perihal pertimbangan untuk
memutuskan kerjasama sayangnya Sancoyo Antarikso, Sekretaris Perusahaan PT
UNVR enggan merincikannya lebih lanjut.
"Saat ini kami produksi sendiri
lalu sebagian lagi diproduksi pihak ketiga," ungkap Sancoyo kepada
Kontan.co.id, Minggu (21/10). Melihat produk Sariwangi saat ini memang sudah
tidak tercantum lagi nama PT SAEA, melainkan sebagian kotak teh bertuliskan
diproduksi oleh PT Unilever Indonesia Tbk dan sebagian lagi PT Agri Wangi Indonesia.
Ke depannya, UNVR berkomitmen untuk
tetap menyediakan brand teh celup tersebut, di mana perusahaan mengklaim teh
tersebut sebagai market leader di segmennya. "Sariwangi masih tetap
menjadi pemimpin pasar teh celup di Indonesia," ujar Sancoyo.
Mengenai kompetisi di tengah
banyaknya produk teh celup dan teh olahan lainnya, perseroan tak merasa
khawatir dan tetap maju dengan kemampuan bisnisnya yang adaptif. "Sebab
kami akan terus berinovasi," sebut Sancoyo.
Adapun jauh-jauh hari, UNVR sempat
melakukan pembaruan untuk segmen teh celup dengan merilis brand produk
Sarimurni. Menurut laporan keuangan tahun 2017 kemarin, kategori teh ini
berhasil memberikan pertumbuhan yang positif serta peningkatan marjin yang
signifikan karena harga komoditas yang lebih rendah dan karena adanya inisiatif
penghematan.
Menilik laporan keuangan perseroan
sampai semester-I 2018 kemarin sektor makanan dan minuman (mamin) menyumbang
33% dari total revenue UNVR, yakni Rp 7,117 triliun. Capaian penjualan mamin
naik mini kurang dari 1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, Rp 7,110
triliun.
Sumber : Kontan, 21.10.18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar