Beberapa dari Anda mungkin masih teringat dengan iklan Cadbury yang menampilkan Gorilla yang secara emosionil, penuh dengan passion menggebuk drum dan memainkan lagu Phil Collins ”In the Air Tonight.”
Iklan yang diluncurkan pada tahun 2007 tersebut tadinya hanya diputar untuk jaringan televisi di negeri Inggris. Setelah muncul di Youtube dan situs video sharing lainnya, si gorilla itu akhirnya ditonton oleh enam juta orang dalam waktu tiga bulan pertama setelah on-air.
Sebuah prestasi yang luar biasa apalagi mengingat masih banyak orang yang membicarakannya sampai sekarang.
Di tahun 2009 ini, satu kampanye pemasaran yang menyita banyak orang adalah kontes ”The Best Job in The World” yang mana si kontestan ditawari pekerjaan di Gugusan Great Barrier Reef, Australia dengan penghasilan sebesar Rp 1 miliar dalam enam bulan.
Lantas apa kerjanya? Menjadi penjaga Pulau Hamilton, salah satu pulau di gugusan tersebut. Sebagai penjaga pulau ini, Anda tidak hanya dibayar dengan harga selangit, tapi juga dapat menikmati semua keindahan ibarat di surga, mulai dari menyusuri pantai pasir putih, menyelam bawah laut, kerja sambil berlibur.
Menyenangkan bukan apabila dapat bekerja menyerupai liburan dengan gaji yang besar pula? Kontes The Best Job in the World yang digelar oleh Badan Pariwisata Negara Bagian Queensland, Australia, tersebut akhirnya dimenangi oleh Ben Southall dari Inggris.
Dengan dibayar Rp 1 Milliar untuk enam bulan kerja, Ben memiliki tugas untuk mempromosikan pulau-pulau di wilayah Gugusan Barrier Reef tersebut dan melaporkan setiap kejadian yang ada di sana ke seluruh dunia melalui blog, twitter, album foto, video, dan berbagai interview di media.
Banyak orang yang awalnya tidak mengira kalau kontes itu sebetulnya adalah kampanye untuk promosi daerah.
Kontes ”The Best Job in the World” ini menjadi pembicaraan banyak orang dan menciptakan pemberitaan di press yang sangat intensif, termasuk di antaranya program dokumenter dari stasiun TV BBC yang tertarik menjadikan fase penyaringan di kontes ini sebagai reality show.
Diperkirakan impact yang didapati oleh kampanye ini lewat acara stasiun tersebut berkisar sebesar 100 juta dollar dari budget yang minim yaitu sekitar 1,2 juta dollar.
Kampanye ini akhirnya menang banyak penghargaan dari industri periklanan sepanjang tahun 2009, termasuk beberapa kategori award di ajang Cannes Lions International Advertising Festival yang sangat bergengsi.
Sebuah kampanye yang sangat smart, dan menempuh jalan yang low-budget high impact. Selama ini perusahaan yang pintar selalu mengidam-idamkan pola pemasaran yang didasari modal kecil tapi menghasilkan secara luar biasa.
Mereka selalu mencari jalan untuk meningkatkan impact dari langkah pemasaran seiring dengan melakukan penurunan ongkos implementasi. Praktek seperti ini kini menjadi trend, terutama dengan perubahan lanskap yang semakin kacau dengan berbagai macam bentuk krisis.
Dengan perkembangan teknologi New Wave dengan internet, berbagai macam alat konektor, pola low-budget high impact menjadi sangat mungkin. Dulu kita hidup di zaman yang vertikal.
Meskipun slogan yang beken adalah konsumen sebagai raja, namun pada kenyataannya yang pemasarlah yang bergaya seperti raja. Kenapa? Karena konsumen hanyalah target dari si pemasar dan pemasar masih memegang kendali dan otoritas.
Di zaman yang vertikal itu, segala aktivitas pemasaran dikerjakan secara top-down dari perusahaan ke konsumen sebagai obyek. Di zaman yang horisontal di era New Wave Marketing ini, tidak ada perbedaan status antara Marketer dan Customer.
Marketer dan Customer sama rata. Marketer sudah berbaur dengan Customer-nya. Secara konsep, New Wave Marketing mengakomodir hubungan horisontal antara perusahaan, konsumen, kompetitor, dan agen-agen yang merubah tatanan makro.
Di dalam proses pemasaran, konsumen kini dapat untuk berpartisipasi sehingga segala aktivitas semakin efisien dari segi biaya.
Kesuksesan kampanye komunikasi ”The Best Job in The World” menjadi contoh bahwa di zaman New Wave yang horisontal, pemasar hanya perlu memikirkan sebuah ide konseptual yang stratejik sebagai pemicu, untuk kemudian dituangkan ke dalam implementasi yang bersifat taktikal yang mana aktivitasnya dikerjakan bukan oleh pemasar, melainkan oleh konsumennya.
Dulu aktivitas promosi pariwisata daerah seperti ini mungkin lebih banyak dikerjakan in-house oleh instansi terkait, bekerja sama dengan biro iklan, tim PR dan event organizer. Effort yang digalang menjadi lebih besar untuk mendatangkan energi pemasaran yang maksimal.
Namun kini, pemasar tidak perlu susah payah lagi, cukup mencari orang seperti Ben Southall yang mengerjakan segala aktivitas untuk dalam hal ini, mempromosikan gugusan pulau di sekitar Pulau Hamilton. Dialah yang melaporkan setiap kejadian yang ada di sana ke seluruh dunia melalui blog, twitter, album foto, video, dan berbagai interview di media.
Dengan demikian energi pemasaran yang dikeluarkan bisa jadi lebih besar dan efisien apalagi karena didukung word of mouth (kekuatan offline) dan word of mouse (kekuatan online).
Bagaimana pendapat Anda?
Oleh : Hermawan Kartajaya (HK)
Sumber : Kompas, 01.09.09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar