JAKARTA, KOMPAS.com - The National Maritime Institute (Namarin) menilai, tingkat risiko Pelabuhan Tanjung Priok sudah masuk kategori zona bahaya perang (war risk) atau bahaya lain yang bisa memicu kenaikan biaya asuransi kapal menyusul insiden di kawasan tersebut yang menelan korban jiwa.
"Rusuh Koja Rabu kemarin (14/4/2010), kian membuktikan hal tersebut. Ini menjadikan levelnya makin tinggi saja. Pada jangka panjang daya saing Pelabuhan Priok makin terpuruk di mata internasional sebagai gerbang ekspor impor," kata Direktur Namarin, Siswanto Rusdi saat dihubungi di Jakarta, Kamis (15/4/2010).
Menurut Siswanto, pada pertemuan November tahun lalu, Joint War Committe (JWC), organisasi para asuransi kapal di London, memasukkan sejumlah kawasan perairan di Indonesia sebagai zona bahaya perang atau bahaya lain untuk dilayari kapal domestik maupun asing dan hal ini bisa berpotensi memicu tambahan biaya asuransi.
Sejumlah wilayah itu antara lain, pelabuhan Balikpapan hingga 250 mil ke laut, sebelah utara pantai timur Kudat dan Tarakan, Tanjung Priok, serta sebelah utara pantai timur Sumatra.
Siswanto menyebut, potensi "ledakan" lain di Pelabuhan Priok juga masih banyak, antara lain di Terminal Peti Kemas Koja sendiri masih ada persoalan tanah yang menyangkut ratusan kepala keluarga, termasuk keluarga besa Amir Biqi. "Itu juga potensi, tinggal menunggu momentum ’pintu masuk’-nya saja," kata Siswanto.
Artinya, lanjut Siswanto, secara garis besar Pelabuhan Tanjung Priok saat ini dan ke depan makin tidak kondusif karena biaya tingginya seperti biaya-biaya ’siluman’ sampai sekarang tidak terkendali dan potensi konflik sosialnya juga tinggi. "Kepastian hukum di Priok makin tidak terjamin," katanya.
Anehnya lagi, katanya, sebenarnya Pelabuhan Tanjung Priok oleh berbagai studi seperti JICA beberapa tahun lalu sebenarnya sudah tidak layak lagi dikembangkan dan pemerintah harus mencari alternatif lain seperti Bojonegoro atau lainnya.
"Runyamnya lagi, pemerintah dan PT Pelindo II sendiri tetap bersikukuh mengembangkan Priok sehingga timbul upaya-upaya perluasan dan pembebasan lahan yang berpotensi menimbulkan konflik sosial. Terakhir, Pelindo II malah sangat bernafsu ingin menjadikan Priok sebagai salah satu ’hub port’ (pelabuhan pengumpul)," katanya.
Dampaknya, Siswanto memperkirakan, seiring dengan makin tidak bersaingnya Priok sebagai tujuan ekspor dan impor, maka calon investor, termasuk eksportir dan importir enggan untuk menggunakan Priok sebagai pintu.
"Saya juga mendengar sepertinya salah satu pemegang saham asing di TPK Koja seperti Hutchinson, sudah berancang-ancang keluar dari Priok," katanya.
Terhadap pernyataan bahwa kejadian kemarin menimbulkan kerugian hingga ratusan miliar, Siswanto meragukan data perkiraan itu karena yang terjadi di lapangan hanya penundaan kegiatan bongkar muat dan rusaknya sejumlah sarana.
"Tidak signifikan karena potensi bongkar muat TPK Koja hanya berkisar 2-2,5 juta Teus per tahun," katanya.
Sumber : Kompas, 15.04.10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar