JAKARTA: Asosiasi Kakao Eropa, melalui perwakilan Uni Eropa di Indonesia, memprotes aturan standardisasi bubuk kakao di Indonesia karena merasa sudah memenuhi peraturan internasional mengenai bubuk kakao.
Namun, Badan Standardisasi Nasional (BSN) mengungkapkan pemberlakuan Standard Nasional Indonesia (SNI) itu dilakukan demi melindungi konsumen Indonesia dari produk yang bermutu rendah.
"Di Indonesia itu, entah produk dalam negeri atau produk impor, kerap kali ditemui produk kakao yang dibuat dari kulit kakao.Padahal kulit kakao mengandung Othraxyn melebihi ambang batas sehingga bisa menyebabkan penyakit kronis," ujar Hendro Kusumo, Kepala Bidang Kerja Sama Standardisasi Internasional, BSN, saat dihubungi Bisnis hari ini.
Selain itu, Hendro menjelaskan, konsumen juga perlu dilindungi dari produk kakao bubuk yang mengandung mikroba melebihi persyaratan yang telah ditentukan. Dengan diberlakukannya SNI, diharapkan produk yang menyalhi aturan dapat segera hilang dari pasaran.
Sementara itu, pihak produsen dalam negeri juga perlu dilindungi dari kemungkinan persaingan tidak sehat. "Tentu kita juga ingin melindungi produsen. Jangan sampai mereka menggunakan baan baku kulit kakao karena ingin meingkatkan daya saing."
Hendro optimistis Uni Eropa tidak dapat membawa persoalan tersebut ke WTO karena Indonesia tidak melakukan pelanggaran apapun, melainkan hanya ingin melindungi konsumen dan meningkatkan mutu produk kakao bubuk.
Proses pemberlakuan secara wajib SNI kakao bubuk ini telah melalui tahapan notifikasi ke WTO dengan nomor notifikasi G/TBT/N/IDN/31 yang diadendum menjadi G/TBT/N/IDN/31/Add1.
Dia yakin Indonesia akan solid menghadapi persoalan ini dan menjamin kompetisis perdagangan yang fair antarpelaku usaha. "Tetapi namanya berhadapan dengan Uni Eropa, mereka pasti akan mengejar terus, mereka itu sangat all out kalau menghadapi persoalan seperti ini," tegasnya.
Hendro menjelskan pada pertemuan teknis kemarin di Kantor Perwakilan EU Jakarta, Head of Economic and Trade Section, Delegasi EU untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Olivier Merle, juga mempersoalkan mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pendaftaran SNI karena harus melakukan survaillance ke ke industri terkait.
"Penerbit STSNI kan LSPro [Lembaga Sertifikasi Produk], untuk melakukan survaillance itu, produsen harus membiayai survaillance yang dilakukan LSPro, artinya perjalanan LSPro ke pabrik, pengujian, itu harus dibiayai mereka. Oleh karena itu mereka merasa keberatan," katanya.
Pertemuan yang juga dihadiri oleh Kementerian Perindustrian, Kementerian perdagangan, Badan POM, Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) itu rencanaya akan dilanjutkan di Kementerian Perindustrian pada 27 Januari 2011 dengan agenda klarifikasi langsung dari European Cacao Association (ECA).
Sebelumnya, persoalan ini pernah disinggung dalam pertemuan ke tiga Working Group on Trade and Investment (WGTI) antara Uni Eropa dan Indonesia yang diselenggarakan di Hotel Borobudur tanggal 1 Desember 2010.
Pada pertemuan bilateral itu disepakati bahwa persaolan standardisasi bubuk kakao ini akan dibahas lebih lanjut dalam pertemuan-pertemuan di level teknis antarkedua belah pihak. (mfm)
"Di Indonesia itu, entah produk dalam negeri atau produk impor, kerap kali ditemui produk kakao yang dibuat dari kulit kakao.Padahal kulit kakao mengandung Othraxyn melebihi ambang batas sehingga bisa menyebabkan penyakit kronis," ujar Hendro Kusumo, Kepala Bidang Kerja Sama Standardisasi Internasional, BSN, saat dihubungi Bisnis hari ini.
Selain itu, Hendro menjelaskan, konsumen juga perlu dilindungi dari produk kakao bubuk yang mengandung mikroba melebihi persyaratan yang telah ditentukan. Dengan diberlakukannya SNI, diharapkan produk yang menyalhi aturan dapat segera hilang dari pasaran.
Sementara itu, pihak produsen dalam negeri juga perlu dilindungi dari kemungkinan persaingan tidak sehat. "Tentu kita juga ingin melindungi produsen. Jangan sampai mereka menggunakan baan baku kulit kakao karena ingin meingkatkan daya saing."
Hendro optimistis Uni Eropa tidak dapat membawa persoalan tersebut ke WTO karena Indonesia tidak melakukan pelanggaran apapun, melainkan hanya ingin melindungi konsumen dan meningkatkan mutu produk kakao bubuk.
Proses pemberlakuan secara wajib SNI kakao bubuk ini telah melalui tahapan notifikasi ke WTO dengan nomor notifikasi G/TBT/N/IDN/31 yang diadendum menjadi G/TBT/N/IDN/31/Add1.
Dia yakin Indonesia akan solid menghadapi persoalan ini dan menjamin kompetisis perdagangan yang fair antarpelaku usaha. "Tetapi namanya berhadapan dengan Uni Eropa, mereka pasti akan mengejar terus, mereka itu sangat all out kalau menghadapi persoalan seperti ini," tegasnya.
Hendro menjelskan pada pertemuan teknis kemarin di Kantor Perwakilan EU Jakarta, Head of Economic and Trade Section, Delegasi EU untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Olivier Merle, juga mempersoalkan mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pendaftaran SNI karena harus melakukan survaillance ke ke industri terkait.
"Penerbit STSNI kan LSPro [Lembaga Sertifikasi Produk], untuk melakukan survaillance itu, produsen harus membiayai survaillance yang dilakukan LSPro, artinya perjalanan LSPro ke pabrik, pengujian, itu harus dibiayai mereka. Oleh karena itu mereka merasa keberatan," katanya.
Pertemuan yang juga dihadiri oleh Kementerian Perindustrian, Kementerian perdagangan, Badan POM, Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) itu rencanaya akan dilanjutkan di Kementerian Perindustrian pada 27 Januari 2011 dengan agenda klarifikasi langsung dari European Cacao Association (ECA).
Sebelumnya, persoalan ini pernah disinggung dalam pertemuan ke tiga Working Group on Trade and Investment (WGTI) antara Uni Eropa dan Indonesia yang diselenggarakan di Hotel Borobudur tanggal 1 Desember 2010.
Pada pertemuan bilateral itu disepakati bahwa persaolan standardisasi bubuk kakao ini akan dibahas lebih lanjut dalam pertemuan-pertemuan di level teknis antarkedua belah pihak. (mfm)
Sumber : Bisnis Indonesia, 13.01.11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar