JAKARTA: Pelaku usaha
industri rotan mengaku lesu darah akibat kenaikan harga patokan rotan sehingga
berpotensi mengakibatkan kelangkaan bahan baku.
Sekjen Asosiasi Pengusaha
Rotan Indonesia Lisman Sumardjani mengungkapkan kehadiran Peraturan Menteri
Perdagangan No.13/2012 tentang Penetapan Harga Patokan Hasil Hutan untuk
Penghitungan PSDH telah membuat situasi industri rotan semakin rumit. Pasalnya,
pembayaran provisi sumberdaya hutan (PSDH) semakin membumbung tinggi.
Berdasarkan penetapan
Menteri Perdagangan, seru Lisman, bahan baku rotan pulut merah naik dari Rp 1,4
juta per ton menjadi Rp 17,75 juta/ton.
Harga patokan untuk rotan
lambang merah juga naik sebesar Rp 7,125 juta per ton atau Rp 7.125 per
kilogram. Padahal, di tingkat petani pengumpul
harga rotan tersebut hanya Rp 1.400 per kg dan di tingkat industri hanya
sebesar Rp 2.000 per kg.
Menurut Lisman, kenaikan
harga patokan akan semakin memukul petani rotan karena situasi usaha saat ini
sangat tidak kondusif. Petani rotan lambang merah, misalnya, harus membayar Rp
427.500 per ton yang semula hanya berkisar 42.900 per ton, lantaran tarif PSDH
naik sebesar 6%.
“Industri harus membayar
PSDH rotan yang naik rata-rata lebih dari sepuluh kali lipat,” ungkapnya kepada
Bisnis hari ini.
APRI telah mengajukan
keberatan kepada Kementerian Perdagangan dan Kehutanan. menurutnya, hingga kini
dialog terus dilakukan termasuk dengan Sucofindo yang menghitung harga patokan
baik kayu tanaman industri maupun hasil hutan non kayu.
“Karena kami curiga
Sucofindo tidak bersikap professional karena tidak meninjau langsung ke
lapangan. Besaran tarif yang ditetapkan justru melenceng jauh dari harga
realistis di lapangan,” cetusnya.
Selain rotan, kenaikan juga
ditetapkan untuk hasil hutan non kayu lainnya seperti akasia yang ditetapkan
sebesar Rp 6,5 juta per ton dari sebelumnya hanya sebesar Rp 174.200 per ton.
Getah karet yang dihasilkan dari hutan tanaman industri juga ditetapkan naik
dari Rp 325.000 per ton menjadi Rp 20juta per ton.
Patokan harga pabrik
Direktur Eksekutif Asosiasi
Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi menduga harga patokan kayu ditetapkan
dengan melihat harga pembelian di pabrik, di mana komponen di luar biaya
produksi kayu seperti biaya angkut juga dihitung. Menurutnya, harga-harga
patokan baru tidak menunjukkan margin yang besar ketimbang biaya produksi.
“Kenaikan gila ini tidak
realistis karena di log pond, harga kayu bulat jauh di bawah harga patokan.
Harga kayu akasia misalnya, hanya sekitar Rp 300.000—Rp 400.000 per ton,”
katanya.
Purwadi menilai harga
patokan kayu tanaman yang meningkat signifikan akan membuat investasi
tersendat. Menurutnya, Permen
Perdagangan No.13/2012 sangat bertolak
belakang dengan komitmen Kementerian Kehutanan yang justru mendorong
pemanfaatan kayu hutan tanaman
Bisnis pengusahaan hutan
yang sedang menuju fase tenggelam akan semakin terperosok apabila harga patokan
tersebut tidak direvisi. Daya saing sektor kehutanan nasional kian melemah
karena pasokan bahan baku kayu bagi industri pengolahan akan terganggu.
“Pada akhirnya kontribusi
sektor kehutanan terhadap PDB nasional juga akan semakin mengecil,” ujarnya.
(sut)
Sumber : Bisnis Indonesia,
15.04.12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar