JAKARTA - Banjirnya barang
impor membuat Menteri Perdagangan Gita Wirjawan gusar. Apalagi, barang impor
yang masuk ke dalam negeri ternyata ilegal dan tidak memenuhi Standar Nasional
Indonesia (SNI). Karena itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) berencana
menerapkan sistem anti dumping untuk menekan laju impor barang. Kebijakan ini,
nilai Gita, untuk melindungi industri dalam negeri (safeguard).
"Kebijakan ini bukan
bertujuan untuk menutup impor. Selama tidak melanggar aturan, kami persilahkan.
Tetapi kalau melanggar harus kami tindak. Kebijakan ini bisa menekan laju impor
barang, terutama di tengah seretnya ekspor Indonesia. Selain itu, untuk menjaga
kestabilan ekonomi Indonesia," ujar Gita di Jakarta baru-baru ini, kemarin
(8/6).
Seperti diketahui, Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor Januari-April 2012 lalu naik sebesar
16,18 persen menjadi sebesar USD 62,37 miliar dibandingkan periode yang sama
tahun lalu. Negara pemasok barang nonmigas terbesar selama Januari-April 2012 ditempati
oleh Tiongkok. Untuk mendukung kebijakan ini, Kemendag akan mengirim puluhan
pegawainya mengikuti pelatihan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Di bagian lain, Gita mengaku
Indonesia perlu mengantisipasi sentimen krisis Eropa akan berimbas ke Indonesia
dengan mengeluarkan kebijakan rasional agar tetap bisa menarik investor. Selama
ini, pihaknya sudah menjelaskan postur kebijakan Indonesia ke komunitas usaha
dalam dan luar negeri dan ternyata tidak ada masalah.
"Saya khawatir sentimen
negatif pasar Eropa bisa berimbas ke Indonesia. Akibat krisis Eropa, para
pengusaha mencari instrumen untuk bisa melepaskan kepemilikan dolar dimana pun.
Meskipun tidak seluruhnya, pengusaha mulai melakukan banyak pengamanan terhadap
aset mereka," tukasnya.
Indonesia, pinta Gita,
memang harus berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan. Semua kebijakan yang
dibuat harus rasional. Karena kebijakan yang tidak sesuai akan membuat investor
kabur. Gita yang juga masih menjabat sebagai kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) mengatakan, jadi untuk itu diperlukan adanya kejelasan untuk
investasi di sektor hulu maupun hilir.
"Di hilir jangan sampai
ada multitafsir. Sektor pertambangan batu bara di Indonesia tidak perlu dikenai
instrumen fiskal tambahan seperti bea keluar (BK) ekspor. Sebab, eksplorasi
sektor tersebut mayoritas telah terikat kontrak karya pertambangan. Dalam
perjanjian kontrak karya tersebut, kewajiban beban fiskal perusahaan tambang
yang akan mengeksplorasi sudah besar. Untuk itu, tidak harus bebannya ditambah.
Kalau batu bara, di kontrak karya itu kan dikenakan beban fiskal, pembayaran
royalti, pajak, ini itu-ini itu sejumlah 45 persen," sindirnya.
Jika dikenakan lagi, lanjut
dia, hal tersebut bisa diinterpretasikan sebuah pelanggaran yang dilakukan
pemerintah terhadap kontrak karya yang telah disepakati. "Ini terkait
dengan rasional dan tidak rasional. Kalau mau rasional, itu kan sudah tanda
tangani kontrak karya. Namun, jika nantinya harus dikenakan beban fiskal
tambahan, pemerintah harus memiliki alasan yang kuat untuk menjelaskannya
kepada perusahaan tambang," ujarnya.
Alasannya, kata Gita,
seperti kegiatan ekspor tidak mempertimbangkan kebutuhan nasional terlebih
dahulu atau kewajiban perusahaan tersebut untuk memenuhi Domestic Market
Obligation (DMO) atau kewajiban memasok domestik yang telah ditetapkan. Kalau
negara memproduksi 100 kg, kebutuhannya 90 kg, itu namanya masih ada akses 10
kg. Jadi, kalau 10 kg mau diekspor, boleh saja lantaran kebutuhannya cuma 90
kg.
"Nah yang 10 kg itu
jangan dikenai pajak. Tapi, kalau kebutuhannya 100 kg, produksinya 90 kg. Dari
90 kg masih mau ekspor 10 kg itu harus dikenakan pajak," pungkasnya. (ers)
Sumber : JPNN, 09.06.12
(maaf, libur panjang karena sakit).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar