TEMPO.CO, SEMARANG - Menteri
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan menilai negosiasi ulang atas
kontrak-kontrak pertambangan di Indonesia merupakan jalan terbaik menghadapi
besarnya investasi asing di Indonesia.
"Patut diakui, banyak
tambang-tambang besar di Indonesia dimiliki asing. Namun, kontrak itu sudah
berjalan selama 20-30 tahun. Lalu mau diapakan? Apa mau direbut atau dibiarkan
saja?," katanya di Semarang, Sabtu 16 Juni 2012.
Hal tersebut diungkapkannya
usai memberikan kuliah umum berjudul "Penguasaan Sains dan Teknologi Untuk
Kemanusiaan Bangsa dan Pengentasan Kemiskinan" yang digelar di Universitas
Diponegoro Semarang.
Menurut dia, Indonesia akan
dianggap sebagai bangsa yang primitif jika merebut tambang-tambang besar itu
dari investor asing karena telah menyalahi kontrak, tidak patuh pada hukum, dan
melanggar kesepakatan.
"Kalau melakukan
seperti itu, merebut tambang, Indonesia pasti akan dikucilkan dunia karena
dianggap sebagai bangsa yang primitif, tidak tunduk pada tatanan hukum. Namun,
kalau dibiarkan saya juga tidak setuju," katanya.
Ia mengatakan selama ini
banyak orang yang menginginkan Indonesia seperti Bolivia yang menasionalisasi
semua aset pertambangannya, seperti Korea Utara yang mandiri, atau Myanmar yang
melarang asing masuk.
Namun, kata dia, mereka yang
menginginkan Indonesia seperti Bolivia, Korut, atau Myanmar itu tidak mau
merasakan "penderitaan" yang dialami masyarakat negara itu, yakni
hidup dalam kemiskinan.
Karena itu, Dahlan mengatakan
bahwa langkah terbaik yang bisa ditempuh menyikapi permasalahan itu adalah
dengan menegosiasi ulang kontrak-kontrak pertambangan yang selama ini dikuasai
oleh investor asing.
"Mari kita ajak mereka
(investor asing, red.) bicara baik-baik, mempertimbangkan zaman yang sudah
berubah, apalagi investasi mereka juga sudah lama kembali untuk menegosiasikan
ulang kontrak pertambangan," katanya.
Ia mencontohkan bahwa
Indonesia selama ini mengekspor gas ke China dengan harga yang sangat murah,
sekitar tiga dollar AS/mmbtu (million metric british thermal unit), padahal
dibeli kembali dengan harga mahal.
"Apakah kita mau
menyalahkan kebijakan pemerintah saat itu? Menurut saya, solusi terbaik adalah
menegosiasi ulang, mungkin ada kenaikan setengah sen atau satu sen sudah
lumayan," demikian Dahlan.
Sumber : Tempo, 16.06.12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar