SAYA pernah bertanya kepada
Dame Anita Roddick, pendiri Body Shop; Anda itu pengusaha atau aktivis? Kalimat
itu saya lontarkan saat makan siang bertiga bareng Deepak Chopra, penulis yang
juga dikenal sebagai spiritualis para selebriti Amerika.
"Saya seratus persen
pengusaha dan seratus persen aktivis," jawab Anita.
Biasanya dua profil manusia
itu tidak sama misi, visi, dan values-nya. Pengusaha punya misi menjalankan
bisnis supaya perusahaannya makin berkembang dengan cara menciptakan laba
sebesar-besarnya.
Visinya bisa mengejar profit
sebanyak mungkin dengan cara apa pun, termasuk memuaskan pelanggan. Sedangkan values-nya
sangat pragmatis: lihat situasi.
Kalau terpaksa, ya apa boleh
buat, melakukan apa pun untuk mencapai tujuan. Yang penting bisa lebih unggul
daripada pesaing.
Sementara itu, misi aktivis
(aktivis sungguhan) adalah kepedulian terhadap manusia dan bukan hanya
pelanggannya. Visinya mengembangkan aktivitas untuk menjamin keberlanjutan.
Sedangkan values-nya adalah
untuk membuat perubahan yang lebih baik bagi manusia. Anita Roddick
menggabungkan semua itu. Berkali-kali dia bilang bahwa hal itu tidak sama
dengan corporate social responsibility
(CSR). Program CSR biasanya dilakukan perusahaan kalau ada kewajiban,
atau peraturan pemerintah, atau tekanan dari NGO.
Sebuah perusahaan bisa saja
menghalalkan segala cara dalam praktik kerjanya, lalu mengalokasikan sebagian
dari keuntungannya untuk CSR. Anita Roddick dan Body Shop tak mau melakukan itu
sehingga perusahannya menjadi model bagi perusahaan lain.
Cerita lain datang dari
Bangladesh, yaitu tentang Mohammad Yunus. Bisnis Grameen Bank sebenarnya biasa-biasa
saja, yaitu micro finance di daerah rural. Tapi, seperti Anita, Grameen punya
bisnis model yang sangat berbeda. Dia memberikan pinjaman tanpa agunan bagi
para perempuan di daerah rural melalui sebuah paket women empowerment.
Perempuan yang menjadi nasabah
Grameen langsung diberi pembinaan untuk menjadi perempuan yang lebih berdaya
untuk keluarganya.
Karena pemerintah di sana
tak mampu memberdayakan para perempuan di daerah miskin, para banker Grameen
mengambil alih tugas itu. Para banker tidak bekerja di sebuah kantor seperti
lazimnya sebuah Bank.
Namun, mereka bekerja dari
rumah sendiri sambil berkeliling dari pintu ke pintu para nasabahnya. Jadi,
banker Grameen bergaul dan melakukan sesuatu secara langsung.
Ada penerangan tentang
pengelolaan finansial keluarga, pencerahan soal kesehatan, bahkan nasihat
tentang cara menata rumah yang baik. Nonperforming loan Grameen sangat rendah.
Nasabah yang dimanusiakan secara penuh itu lantas menjadi tidak terlalu peduli
kepada tingkat bunga dari kredit yang diperoleh. Sebab, nilai tambah yang
didapat bersifat spiritual.
Jadi, bila Anda benar-benar
bisa membuat people empowerment terhadap para customer, profit akan datang
dengan sendirinya. Dan loyalitas mereka tidak hanya bersifat transaksional,
tapi sampai kepada hal-hal yang lebih bersifat spiritual.
Bagaimana pendapat Anda?*
Sumber : JPNN, 24.08.12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar