Bisnis.com, JAKARTA--Asosiasi Logistik Indonesia meminta
operator pelabuhan dapat lebih mengambil peranan dalam proses tarif di
kepelabuhanan.
Ketua
Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Mashita
menyesalkan sikap Operator Pelabuhan di Pelabuhan Tanjung Priok yang terkesan
membiarkan PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II membuat tarif baru seperti cost
recovery yang didukung beberapa asosiasi.
"Seharusnya OP sebagai regulator tertinggi di
pelabuhan bisa mengambil peranan yg lebih banyak," ujarnya, Selasa
(4/11/2014).
ALI mengharapkan OP mampu lebih berperan sebagai
regulator di pelabuhan untuk mengontrol sepak terjang pelaku-pelaku di
pelabuhan yang bisa membuat biaya logistik naik dan mengganggu kelancaran arus
barang.
Sebelumnya, Kementerian Perhubungan memastikan
penerapan cost recovery ataupun fuel surcharge di Pelabuhan Tanjung Priok dan
Tanjung Perak tidak termasuk dalam jenis, struktur dan golongan tarif yang
diatur dalam PM.15/2014.
Penerapan cost recovery (CR) ataupun fuel
surcharge merupakan biaya jasa terkait yang hanya membutuhkan kesepakatan
dengan asosiasi pengguna jasa kepelabuhanan. Adapun, landasan hukum
penerapannya tertuang di dalam KM No. 35/2007 tentang Pedoman Perhitungan Tarif Pelayanan
Jasa Bongkar Muat.
Wahyu
Widayat, Kepala Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok,
mengatakan penerapan CR di Pelabuhan Tanjung Priok ataupun fuel surcharge di
Pelabuhan Tanjung Perak hanya menggunakan istilah yang berbeda, sementara
maksud pengenaan biaya itu adalah adalah tarif tambahan bongkar muat karena
adanya kenaikan bahan bakar minyak sejak 2008/2014 dari Rp4,500 per liter
menjadi Rp11,600 per liter dan tidak termasuk dalam jenis, struktur dan
golongan tarif.
Penerapa tarif tersebut pun hanya bersifat sementara
sambil menunggu keputusan penaikan tarif container handling charge (CHC). Hal
serupa juga pernah terjadi pada 2005 silam saat terjadi kenaikan harga BBM dari
Rp1,650 per liter menjadi Rp4,500 per liter.
Sumber : Bisnis Indonesia, 04.11.14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar