JAKARTA.
Eh, paket ekonomi nongol lagi. Kemarin, pemerintah merilis paket ekonomi jilid kesembilan. Nah, salah satu poin dalam
paket ini adalah janji deregulasi bidang
logistik.
Harapannya,
kebijakan bidang logistik ini bisa menjawab keluhan kalangan industri dan
investor tentang mahalnya biaya logistik di Indonesia yang mencapai 40% dari
biaya produksi.
Paket
yang dikeluarkan pemerintah terkait sistem logistik nasional terdiri dari empat
hal. Pertama, menyatukan pembayaran jasa-jasa kepelabuhanan secara
elektronik (single billing) oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
mengoperasikan pelabuhan, dalam hal ini Pelindo.
Kedua, mengintegrasikan
Portal Indonesia National Single Window
(INSW) dengan sistem informasi barang dipelabuhan yang terintegrasi
(inaportnet).
Ketiga, merevisi
Instruksi Menteri Perhubungan Nomor 3/2014 tentang Penggunaan Mata Uang dalam
Pembayaran Kegiatan Transportasi.
Poin
keempat menyangkut penghapusan batasan tarif jasa pos
komersial yang diatur Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No 9/2015.
Kini pemerintah menyamakan tarif perusahaan penyedia jasa pos swasta dengan
jasa pos milik pemerintah, yakni PT Pos Indonesia.
Selama
ini, perusahaan jasa pos komersil atau swasta harus menetapkan tarif lebih
tinggi dari layanan pos universal oleh PT Pos.
"Aturan
itu membuat biaya logistik tidak efesien," kata Darmin Nasution, Menko Perekonomian, kemarin.
Darmin
menilai, aturan itu telah membatasi persaingan pelaku penyelenggara pos
komersial dan menguntungkan PT Pos Indonesia saja. Kini dengan penghapusan
aturan tarif terbaru, PT Pos Indonesia tidak bisa memonopoli logistik ke
pelosok lagi.
Pelaksaannya diragukan
Sayang,
pengusaha logistik menilai paket kebijakan tersebut tidak akan berdampak
signifikan untuk mengurangi biaya logistik, maupun meningkatkan daya saing
logistik Indonesia.
Pengusaha
masih sangsi dengan aturan single billing bisa berlaku di sejumlah pelabuhan
yang dikelola oleh Pelindo. "Aturan single billing sepertinya masih sulit
berjalan," kata Budi Paryanta,
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos dan Logistik
Indonesia (Asperindo) kepada KONTAN, kemarin.
Namun
Budi menilai positif penghapusan pengaturan tarif bagi jasa pos swasta. Sebab
perusahaan pos swasta sulit melawan PT Pos Indonesia yang sudah berada di
daerah terpencil.
"Seharusnya
PT Pos Indonesia tidak dijadikan
pesaing bagi perusahaan logistik swasta ," kata Budi.
Ke
depan, pengusaha pos swasta diperkirakan akan berjaringan dengan PT Pos
Indonesia yang ada di berbagai daerah agar lebih efesien dan menguntungkan bagi
konsumen.
Layanannya
pun akan beragam, bagi masyarakat maupun pelaku usaha. Dengan penetapan tarif
yang disesuaikan dengan mekanisme pasar, diyakini akan membentuk harga yang
paling efisien.
Budi
pun optimistis cara itu bisa menekan biaya logistik lebih rendah dari saat ini.
"Saat ini ongkos logistik bagi pengusaha 40% dari biaya produksi,"
kata Budi.
Sumber
: Kontan, 28.01.16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar