TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) menemukan dugaan praktek persaingan usaha tidak sehat berupa kesepakatan
harga dalam penentuan premi asuransi risiko banjir oleh Asosiasi Asuransi Umum
Indonesia (AAUI). »Kami melihat potensi kartel dari penetapan premi ini,"
kata komisioner KPPU Syarkawi Rauf melalui siaran persnya, Senin, 1 April 2013.
Potensi kartel, kata Syarkawi, terendus dari
diberlakukannya Surat Keputusan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia, yaitu SK
Nomor 02/AAUI/2013 tanggal 14 Februari 2013 tentang pembaharuan Pedoman Suku
Premi dan Zona Banjir Atas Asuransi Risiko Banjir (SK 02). SK 02 ini dinyatakan
berlaku efektif pada tanggal 14 Maret 2013 untuk menggantikan SK No
505/AAUI/2005 (SK 505).
SK yang penyusunannya dibantu oleh PT Asuransi MAIPRAK
Indonesia ini mengatur beberapa perubahan dalam premi asuransi properti. Di
antaranya adalah tentang zona (risiko banjir). Dalam SK 505, zona banjir dibagi
tiga berdasarkan kawasan, yaitu kawasan industri, konvensional, dan domestik.
Kini zona dibedakan berdasarkan tingkat risiko, yaitu
pertama, zona low, yakni daerah yang tidak pernah kebanjiran atau pernah banjir
dengan ketinggian 30 cm. Tarif preminya 0,045 persen (dari nilai
pertanggungan). Kedua, zona moderat (menengah), yaitu daerah yang pernah banjir
dengan kedalaman 30 cm-60 cm. Besaran preminya 0,170 (dari nilai
pertanggungan).
Ketiga, zona tinggi, yakni kawasan yang pernah banjir
dengan ketinggian di atas 60 cm dengan tarif premi sebesar 0,52 persen (dari
nilai pertanggungan). Ketentuan zona ini tidak saja berlaku di Jakarta, tetapi
juga di luar Jakarta.
Secara umum, kisaran tarif premi ini 0,045-0,5 persen
dari nilai pertanggungan yang lebih tinggi dari SK 505 yang hanya 0,015-0,07
persen dari nilai pertanggungan. Di samping itu, dalam SK 02 ini diatur tarif
tambahan loading rate dimana untuk bangunan berkonstruksi kelas I dan memiliki
basement dikenakan loading rate yang ditentukan penilai.
KPPU melihat bahwa penetapan harga antara pelaku usaha
tentang harga jual produk barang atau jasa yang dijualnya adalah bagian dari
kartel penetapan harga yang dilarang berdasarkan Pasal 5 UU Nomor 5/1999. Pasal
tersebut berbunyi, »Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang
harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.”
Karena itu, menurut Syarkawi, KPPU meminta asosiasi untuk
membatalkan pelaksanaan SK 02 ini dan akan melaksanakan pengawasan dalam
pelaksanaannya. Selanjutnya, KPPU mengagendakan pemanggilan Ketua Umum AAUI
pada Rabu tgl 3 April 2013 untuk meminta laporan tentang pelaksanaan perintah
ini.
Selain itu, KPPU juga menilai pengaturan industri jasa
asuransi seharusnya tidak dilakukan oleh pelaku usaha melainkan oleh regulator
asuransi, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK). "Dalam bulan ini,
KPPU akan mengirimkan saran pertimbangan kebijakan kepada OJK untuk menyusun
regulasi terkait tarif premi asuransi banjir ini, " kata Saidah Sakwan,
Wakil Ketua KPPU.
Sementara itu, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia belum
dapat dikonfirmasi mengenai hal ini.
Sumber : Tempo, 01.04.13.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar