JAKARTA: Hanya orang "gila" yang mau menerima
pekerjaan di sebuah perusahaan yang sedang kolaps. Tapi, Arham S. Torik yang kini
menjabat Presiden Direktur PT Djakarta Lloyd nekad menerima tawaran
seperti itu pada 2012. Kini, Arham berhasil memimpin Djakarta Lloyd keluar dari
jeratan pailit. Apa saja kiatnya? Galvan Yudistira dan Muradi
dari Kontan mewawancarai Arham untuk mengungkap strategi Arham. Berikut nukilannya.
Tak Cukup 2E, Perlu juga Edan
Tahun 2012, saya diajak oleh Syahril Japarin, Direktur
Utama Djakarta Lloyd (kala itu), untuk bergabung dengan perusahaan ini sebagai
direktur keuangan dan marketing. Sebelumnya, kami pernah bekerja bersama-sama
di PT
Aetra Air Jakarta (sebelumnya bernama PT Thames Pam Jaya).
Lalu, bersama Erizal Darwis sebagai direktur
operasional, kami bahu-membahu membangun lagi dari awal perusahaan BUMN yang
sedang terpuruk ini. Pada saat hari pertama masuk kantor, saya sempat syok
karena perusahaan ini dalam kondisi porak-poranda, baik luar maupun dalam.
Secara fisik, tembok kantor perusahaan penuh dengan
atribut demonstrasi karyawan: coretan mural kekecewaan dan kemarahan, karena
hak-hak karyawan tidak dibayarkan oleh manajemen sebelumnya. Selain itu, bau
kemenyan menghiasi ruang direksi yang disegel demonstran. Sebagai direktur
keuangan dan marketing, saya rela tidak digaji karena saldo kas perusahaan
nihil. Rekening bank diblokir oleh berbagai pihak sehingga kami tidak bisa
mencari dana.
Laporan keuangan sejak tahun 2008 sampai 2011 tidak
dibuat. Yang ada dokumen berkas-berkas tuntutan hukum dari berbagai pihak, baik
dalam negeri dan luar negeri, gara-gara tidak mampu membayar utang mencapai Rp
1,5 triliun. Sedangkan tunggakan gaji 700-an karyawan mencapai Rp 2,3
miliar per bulan. Akumulasi tunggakan gaji selama 13 bulan sekitar Rp 30
miliar.
Begitulah gambaran buruk perusahaan saat saya pertama
kali masuk. Ketika iseng membaca Undang-Undang Perseroan untuk mempelajari cara
mempailitkan perusahaan, ternyata salah satu persyaratan pengangkatan direksi
adalah tidak pernah memimpin perusahaan bangkrut. Sejak itu, saya bertekad
menyelamatkan diri dengan tidak membangkrutkan perusahaan.
Salah satu prioritas utama yang harus dilakukan adalah
menghidupkan letter of intent (LoI) dengan PLN (Perusahaan Listrik Negara) yang
ditandatangani beberapa bulan sebelumnya agar perusahaan dapat kembali
beroperasi. LoI pengangkutan batubara itu telah berumur 1,5 tahun, tapi belum
satupun dibuatkan kontraknya. Masalahnya ada tiga persyaratan yang sulit
dipenuhi, yaitu kepemilikan kapal, jaminan berupa cash collateral, dan laporan
keuangan.
Setelah melakukan negosiasi, PLN bersedia menunda
persyaratan laporan keuangan. Alhasil, kami berhasil memperoleh kontrak pertama
PLN. Setelah itu, kami mulai menyusun laporan keuangan. Kami juga berusaha
mengatasi masalah kepemilikan kapal melalui kerjasama operasi dengan para
pemilik kapal. Kami meyakinkan mereka agar mau menyediakan dana cash collateral
sebagai jaminan.
Dengan adanya aktivitas ini, kegiatan operasi
kecil-kecilan dapat dibiayai oleh perusahaan. Hasilnya, pada Juni 2012, menjadi
saat bersejarah bagi perusahaan karena sukses menggaji karyawan pertama kali
dari hasil usaha.
Namun, karena kapasitas perusahaan menurun drastis, kami
merumahkan hampir seluruh karyawan dan menegosiasikan gaji yang bisa dibayar
perusahaan. Masalah lain yang dihadapi adalah gugatan pailit dari dua kreditur.
Sesuai kewenangan sebagai direktur keuangan, saya menghadapi kreditur itu satu
per satu agar mereka dapat memahami kondisi keuangan perusahaan. Harapannya
mereka menyetujui penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dan tidak
memailitkan Djakarta Lloyd.
Akhirnya, pada 19 Desember 2013, tercapai
kesepakatan dengan kreditur untuk mengakhiri kepailitan.
Merangkul lawan
Pada 7 Januari 2014, saya didaulat menjadi Direktur Utama
Djakarta Lloyd karena tinggal satu-satunya direksi yang ada. Saya merasa diberi
amanah yang besar karena perusahaan sedang melakukan banyak pekerjaan, mulai
dari renegosiasi dengan karyawan, berusaha menambah order, optimalisasi aset,
dan menghadapi proses kasasi oleh kreditur.
Dalam menjalankan perusahaan, saya berpegang pada tiga
kunci sukses William Shakespeare. Yaitu: tahu lebih banyak dari orang lain,
berusaha lebih keras dari orang lain, berharap lebih sedikit dari orang lain.
Dengan begitu, saya jarang kecewa namun tetap siap bekerja keras dan cerdas.
Yang pertama saya lakukan adalah menentukan skala
prioritas untuk menyelesaikan masalah. Motonya: "Bergerak lebih cepat,
dengan strategi 3F". F yang pertama adalah New Focus alias fokus
terhadap bisnis baru. F kedua adalah New Friend, yaitu membuat networking
yang baru. F yang ketiga, New Face, yaitu membuat zero
karyawan dengan memberikan tantangan yang luarbiasa. Pasalnya, saya berpendapat
perusahaan ini harus diisi oleh orang-orang baru yang mempunyai prestasi baik
dan untuk orang lama harus lulus assessment. Dengan begitu, perusahaan dalam
posisi zero karyawan akan diisi orang dari luar dengan masa percobaan enam
bulan dan karyawan lama yang lulus assessment.
Untuk menghadapi tantangan ke depan dan supaya Djakarta
Lloyd menjadi BUMN unggulan, saya menerapkan "3E". Pasalnya,
kalau hanya "2E", yaitu Efektif dan Efisien, tidak cukup.
Makanya, harus ada E yang ketiga yaitu Edan. Maksudnya adalah Effulgence
atau brilian atau terobosan, yaitu dengan merangkul orang-orang yang selama ini
berseberangan.
Saya merangkul para karyawan yang selama ini
berdemonstrasi. Saya sampaikan kepada mereka: "Saya harus fokus agar bisa
membayar gaji kalian."
Banyak pihak lain yang dirangkul dengan tujuan
semata-mata untuk meluruskan jalan saya mencapai target perusahaan. Selain itu,
setelah restrukturisasi karyawan, saya memasukkan 60% SDM (sumberdaya manusia)
baru yang berasal dari swasta. Harapannya, karyawan tersebut bisa memberikan
motivasi dan meningkatkan kinerja karyawan lama yang telah mengikuti
assessment.
Untuk level manajemen, diisi dengan orang profesional
yang digaji triwulan dengan sistem targeting. Jadi, jika tidak memenuhi target
evaluasi per tiga bulanan maka karyawan tersebut akan keluar dari perusahaan.
Kontrak satu tahun dibuat bagi pegawai baru. Saya juga menghapus sistem
perekrutan karyawan yang berbasis saudara untuk meningkatkan profesionalisme
perusahaan.
Saat ini, Djakarta Lloyd mempunyai 32 karyawan kontrak
dan 6.500 pegawai lepas. Untuk kantor cabang, Djakarta Lloyd mempunyai 13
karyawan. Ke depan, 13 karyawan di 10 cabang itu akan dibenahi sehingga posisi
mereka sama dengan karyawan kontrak yang baru masuk. Semua karyawan wajib
menandatangani pakta integritas yang mengharuskan mereka mundur jika tidak
mencapai target dan melakukan pelanggaran serius.
Strategi komunikasi
Strategi komunikasi juga digunakan untuk menyelesaikan
masalah perusahaan. Saya berkomunikasi dengan karyawan sehingga mayoritas
karyawan sukarela mengundurkan diri dengan harapan seluruh hak-haknya akan
tetap menjadi utang perusahaan. Sebagai shock therapy, perusahaan menyerahkan
beberapa karyawan senior ke pihak kejaksaan karena melakukan kecurangan. Terapi
ini cukup ampuh meredam gejolak karyawan.
Komunikasi juga dilakukan dengan para pensiunan agar
mereka bersedia ditangguhkan pembayaran uang pensiunnya sampai perusahaan
mampu. Dengan begitu, hiruk-pikuk demonstrasi mereda. Dalam menyelesaikan
kewajiban dan utang, kami juga berkomunikasi dengan para kreditur.
Kami mengajukan perjanjian perdamaian dengan seluruh
kreditor melalui proses PKPU di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Pengadilan
mengesahkan akta perdamaian itu setelah memalui voting yang mendebarkan.
Sebelumnya, kami telah melobi beberapa kreditur besar, di
antaranya Bank Mandiri. Mereka kami dorong untuk menyetujui isi perdamaian.
Sebab, kalau tetap memailitkan Djakarta Lloyd, maka mereka tak akan memperoleh
apa pun. Akhirnya disepakati PKPU sebesar Rp 1,5 triliun, dikurangi dengan
utang kepada negara berupa pinjaman rekening dana investasi (RDI) dan kewajiban
pajak yang dikecualikan. Kreditur sepakat pemotongan sebesar 32,5% dari jumlah
utang yang jangka waktunya diperpanjang menjadi 18 tahun. Seluruh utang itu
menjadi menjadi saham sementara (debt to equity swap).
Pada 14 Mei lalu, seluruh proses perdamaian tuntas.
Dengan begitu, struktur keuangan Djakarta Lloyd menjadi lebih baik. Utang
tinggal Rp 200 miliar sampai Rp 300 miliar. Saya optimistis perusahaan ini bisa
menyelesaikan seluruh kewajiban kepada kreditur dan karyawan jika melihat
laporan keuangan yang positif. Pada 2015 ditargetkan perusahaan mengalami
sustainable growth, setelah pada 2012 mengalami rebound dan tahun ini mencapai
tahap one step ahead.
Ke depan, saya berambisi membawa Djakarta Lloyd menjadi
BUMN yang disegani di dalam negeri maupun di luar negeri. Selain itu, seiring
dengan penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015, Djakarta Lloyd
diharapkan bisa menjadi perusahaan yang mengatur manajemen kargo nasional.
Sumber : KONTAN, 26.09.14.