Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto tidak setuju dengan rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya di Karawang, Jawa Barat, apabila harus menutup sebagian sumur minyak dan gas di kawasan itu.
"Saya tidak setuju jika dampaknya harus menutup
sumur migas Blok Offshore North West Java . Pembangunan pelabuhan kan bisa
diatur, sehingga tidak perlu menggangu produksi minyak," kata Suryo, Senin
(8/9/2014).
Menurutnya, minyak dan gas merupakan sektor yang sangat
penting, apalagi blok tersebut merupakan penghasil minyak nomor 4 nasional
dengan 4.200 barel per hari dan ketujuh untuk produksi gas.
“Blok migas itu tidak boleh ditutup hanya demi melayani
produsen otomotif. Tak perlu diganggu, tidak perlu ditutup," ujarnya.
Menurut Suryo, sebaiknya pelabuhan itu dipindahkan ke
tempat lain. Pasalnya, dengan penutupan produksi blok tersebut, migas dan
cadangannya yang sudah ditemukan tidak bisa diproduksi dan dimanfaatkan.
Jika pemerintah menggunakan perencanaan yang baik dan
melihat kembali tata ruang wilayah itu, terlebih blok tersebut sudah
berproduksi sejak 1971, tidak akan terjadi kekisruhan seperti saat ini.
"Saya kira, dengan perencanaan yang baik, tidak akan
mengganggu sumur migas Pertamina," tegasnya.
Senada dengan Suryo, Poltak Sitanggang, Ketua Komite
Tetap Energi dan Pertambangan Kadin Indonesia, menegaskan jika sampai produksi
ONWJ ditutup, rakyat dan negara yang akan dirugikan karena kuota impor minyak
akan bertambah.
Menurut Poltak, yang menjadi persoalan sebenarnya bukan
hanya membangun pelabuhan yang akan menghentikan produksi minyak dan gas di
Cilamaya, tetapi ada upaya terstruktur membuat negeri ini menjadi importir
minyak.
"Kita punya sekitar 124 cekungan dan cadangan
minyak. Kan cadangan terukur kita itu 9,3 miliar barel. Nah, sejak 1960,
produksi migas kita itu masih 1,7 juta sampai 1,8 juta barel per hari. Sekarang
produksi minyak kita bahkan turun dari 900.000 menjadi 800.000 barel per
hari," ungkapnya.
Artinya, ada 900.000 barel yang harus diimpor per
harinya. Tidak diproduksinya cadangan minyak tersebut, kata Poltak, merupakan
kerjaan mafia yang telah terstruktur agar Indonesia tetap menjadi importir
abadi. Dan para mafia minyak ini tetap mendapatkan keuntungan dari impor
tersebut.
"Inilah kerja mafia yang saya bilang terstruktur.
Caranya, seolah kondisi niaga migas aneh. Kita punya kekayaan alam, memproduksi
minyak, dan menjual minyak ke luar negeri. Kemudian kita mengimpor dari luar
negeri dalam jumlah besar dan mahal," ujarnya.
Indonesia mempunyai cadangan migas, tapi dibikin tidak
memproduksi agar tetap menjadi importir abadi minyak. "Bayangkan saja,
kalau 1 berel dapat 3 dolar per hari dari 900.000 barel. Berarti US$20 juta per
hari dari kebutuhan impor minyak. Ini per hari. Jadi memang ini pola
terstruktur," jelasnya.
Yang paling ironis dan paling jahat, tandas Poltak,
adalah penutupan Blok ONWJ demi membangun pelabuhan dan melayani industri,
terutama otomotif.
"Kita sudah punya produksi dan sumur, bukannya
ditingkatkan malah mau distop. Jika kemudian kebutuhan dalam negeri tidak
terpenuhi, teriak-teriak. Ini kejahatan mafia terstruktur. Tidak ada alasan
untuk menutup ONWJ, karena amanat Pasal 33 UUD, bahwa bumi dan air yang
terkandung di dalamnya dikuasai negara, digunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat," ujarnya.
Atas dasar itu, Poltak mengaku tidak setuju dengan
pembangunan pelabuhan tersebut, yang akan semakin mengabadikan mafia minyak di
negeri ini. "Ini pembodohan yang sudah mereka lakukan sejak 1970 sampai
sekarang," katanya.
Sumber : Bisnis Indonesia, 08.09.14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar