KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banyak yang terkejut ketika Forbes
mengumumkan orang kaya di China tahun 2017. Bukan si Jack Ma
yang kesohor, melainkan Hui Ka Yan, pengusaha properti.
Forbes mencatat kekayaan pemilik Evergrande Group ini
sekitar US$ 42,8 miliar. Hui sosok low profile. Sama seperti pemilik
Grup Salim di Indonesia, ia kerap menghindari pers. Tapi lihatlah kibasannya.
Tahun lalu, Evergrande Group menjual apartemen dan rumah di 546 proyek,
mencakup 209 kota, 30 provinsi dan daerah lain. Evergrande juga memiliki bisnis
keuangan dan pariwisata.
Hui membentuk Evergrande tahun 1996 dengan kurang dari 20
karyawan. Ide awalnya membangun apartemen kecil. Tahun 2006, Evergrande mulai
menerima investor internasional termasuk Merrill Lynch, Temasek dan
Deutsche Bank. Evergrande go public di Bursa Hong Kong pada 2009 dan
berganti nama dari Evergrande Real Estate ke China Evergrande Group pada
Juni
2016.
Pertengahan 2017, China Evergrande Group memiliki 102.454
karyawan. Dalam enam bulan pertama 2017, Evergrande memulai 74 proyek real
estat baru di 59 kota. Penjualan kontrak tersebut mencapai CNY 244,1 miliar.
Evergrande membeli Grup New Media dan mengubah nama
perusahaan menjadi Evergrande Healthcare, bisnis layanan kesehatan. China
Evergrande Group juga mengakuisisi pemasok polysilicon Hong Kong Mascotte
Holdings pada 2015, menarik investasi dari Tencent dan mengubah nama menjadi
Hengten Networks. Saat ini, Evergrande memiliki 54% penyedia layanan komunitas
internet.
Di peringkat kedua orang terkaya Tiongkok adalah Ma
Huateng. Jumlah kekayaannya US$ 39 miliar. Ia adalah pendiri Tencent
Holding. Pria yang kerap disapa Pony Ma ini rajin melakukan ekspansi besar-besaran,
termasuk ke Indonesia. Tencent merupakan perusahan pemilik aplikasi WeChat.
Kehadiran WeChat di Indonesia menggandeng korporasi Hary Tanoe, MNC. Tencent
juga berinvestasi di Go-Jek dan JD.ID.
Di
tempat ketiga, barulah bercokol Jack Ma. Pendiri dan pemilik Alibaba
agresif melakukan ekspansi. Seperti Beijing Easyhome Furnishing seharga CNY
5,45 miliar dan menginvestasikan US$ 486 juta ke perusahaan ritel big data
dalam dua kesepakatan.Alibaba juga menyuntikkan dana ke platform pengiriman
makanan Zomato dengan investasi US$ 200 juta melalui Ant Financial.
Posisi keempat adalah Wang Jianlin, pendiri perusahaan
properti dan entertainment Dalian Wanda Group. Hartanya US$ 25,2
miliar, Wanda Group telah membeli perusahaan pemilik jaringan bioskop AS, yaitu
AMC seharga US$ 2,6 miliar di tahun 2012 lalu. Wanda juga mengakuisisi grup
sinema berbasis di London, yaitu Odeon & UCI tahun ini seharga US$ 1,2
miliar.
Januari 2016 lalu, Dalian Wanda menghabiskan US$ 3,5
miliar untuk membeli Legendary Entertainment, perusahaan di balik pembuatan
film trilogi Batman dan Jurassic World. Wang juga membeli perusahaan pembuat
penghargaan Golden Globes, yaitu Dick Clark Productions, dengan harga US$ 1
miliar.
Di peringkat kelima, nongkrong Wang Wei dengan kekayaan
US$ 22,3 miliar. Wang mendapatkan uang sebanyak itu setelah perusahaannya, SF
Express, anak usaha SF Holdings, yang juga disebut Fed-Ex-nya China dijual ke
publik. Sekarang, jaringan SF sudah menjangkau 200 negara dengan lebih dari
15.000 kendaraan. Semua itu tak terlepas dari berkembangnya Alibaba, perusahaan
marketplace terbesar di China.
Direktur Institute for Development of Economics and
Finance (Indef) Enni Sri Hartati memandang, perkembangan ekonomi China yang
terus meningkat dengan bermunculannya para konglomerat sangat berpengaruh
terhadap dunia.
Dua sisi investasi China bagi industri lokal
Seperti mata uang yang memiliki dua sisi, investasi China
juga menyuguhkan cerita lain di balik dampak positifnya. Terutama, efek gulir
bagi industri. Berdasarkan catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dua
tahun terakhir China nangkring dalam lima besar penanam modal asing di
Indonesia.
Meski masuk lima besar, Enni Sri Hartati, Direktur Indef
menilai, investasi dari China belum komprehensif. Investasi mereka sebatas
kebutuhan primer yang tidak memiliki nilai tambah. Sebut saja, investasi pada
sektor kelistrikan. Belum lagi, soal perjanjian bisnis. Sejauh ini, China lebih
banyak menerapkan kontrak jangka panjang dan membeli bahan baku murah dari
Indonesia. Makanya, Indef berpendapat industrialisasi China kurang
menguntungkan bagi Indonesia.
Di sisi lain, Indonesia hanya menyumbang ekspor komoditas
saja ke China. "Selama ini China merupakan salah satu tujuan ekspor
khususnya dalam bidang komoditas," terang Enni kepada Kontan.co.id, Kamis
(15/2).
Totok Lusida, Sekretaris Jenderal DPP Real Estat
Indonesia (REI) lebih memilih mencermati penggunaan tenaga kerja. Menurut
pengalamannya di lapangan, masih banyak pengembang China yang justru
menggunakan tenaga kerja dari negara sendiri. Padahal, tenaga kerja lokal mampu
untuk menangani pekerjaan itu.
Eddy
Ganefo, Ketua DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia
(Apersi) mengaku tak keberatan dengan adanya investasi
China atau dari negara mana pun. "Semuanya harus sesuai aturan yang ada,
karena fungsi aturan juga untuk melindungi pelaku industri dalam negeri agar
bisa tetap hidup," kata dia.
Sumber : Kontan, 17.02.18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar