KONTAN.CO.ID - JAKARTA.
Transportasi menjadi salah satu sektor yang terdampak cukup signifikan akibat pandemi COVID-19. Operator penerbangan sampai pelayaran kemudian
harus menerima kenyataan berkurang drastisnya jumlah penumpang sehingga harus
melakukan banyak penyesuaian.
Menurut Direktur Utama Garuda
Indonesia Irfan Setiaputra,
penerbangan adalah sektor yang pertama kali terimbas krisis. "Sejak ada
COVID-19 pertama kali di Indonesia pada Maret, jumlah penumpang menurun tajam.
Bahkan di Bulan Mei hanya mengangkut 10% penumpang dibanding periode sama tahun
lalu. Dari lima peak season setahun, akibat COVID-19 empat hilang sudah, yaitu
mudik, libur sekolah tengah tahun, umrah, dan haji. Harapan kami tinggal
liburan akhir tahun," ungkapnya saat diskusi virtual MarkPlus Industry Roundtable, Jumat (19/6).
Sementara Direktur Utama Pelni Insan P
Tobing menyatakan, di masa krisis ini
penumpang benar-benar menyusut drastis bahkan tidak sampai 10%. Setiap bulan
setidaknya Pelni memiliki kemampuan mengangkut sekitar 200 ribu penumpang.
"Kalau dihitung tidak sampai
1%. Pada April saja kami hanya angkut 523 penumpang. Mei di masa Lebaran kami
angkut 700 saja. Daripada buang cost, armada-armada kapal kami keep di beberapa
pelabuhan dengan mode stand by. Kalau diperlukan, kami siap," jelas Insan.
MRT Jakarta juga mengalami hal
yang sama. Semenjak pandemi dimulai pada Maret sampai akhirnya diberlakukan
PSBB di mana mayoritas masyarakat bekerja di rumah, MRT Jakarta merasakan
krisis penumpang. Menurut Direktur Utama MRT Jakarta William Sabandar jumlah
penumpang surut jadi 3% dari biasanya. Ketika PSBB dilonggarkan barulah
menyentuh angka 17%-18%.
"Harapannya bisa menyentuh
30%. Namun semenjak adanya COVID-19 ini, kami tidak yakin mampu mengangkut 100%
seperti sedia kala. Kami perkirakan maksimal hanya 60% saja," ujar
William.
Sebagai platform memindahkan
penumpang dari satu titik ke titik lain, para pemain transportasi berpikir
keras menjaga pemasukan sebagai ganti minimnya penumpang. Logistik jadi satu
pilihan logis mengingat mereka memiliki armada kosong yang bisa diisi oleh
barang-barang kiriman.
Garuda Indonesia kini
memaksimalkan armada kosong untuk kargo. Irfan mencontohkan ketika pelanggan di
Jakarta memesan oleh-oleh di Jogjakarta, ia jamin besok sore sudah sampai depan
pintu rumah. "Dari dulu kami hanya fokus penumpang. Namun sekarang harus
berpikir pada bisnis pengiriman barang," ujarnya.
Pun begitu dengan Pelni yang
sejak 2015 mulai merintis kargo. Mau tidak mau di saat sekarang bisnis tersebut
harus dimaksimalkan, apalagi setahun kemudian Pelni mulai memiliki kapal
angkutan barang.
Blue Bird juga mengakui bahwa
semenjak pandemi, mereka mulai melirik bisnis logistik dalam kota. Jika dulu
taksi dipakai mengangkut penumpang, kini yang diantar adalah barang.
"Bisnis ini laris manis di masa pandemi. Dan bukan hanya barang penumpang
atau perorangan yang kami antar, tapi juga logistik sekelas korporat,"
ungkap Chief Marketing Officer
Blue Bird Amelia Nasution.
Platform digital juga bisa
menjadi salah satu faktor bisnis transportasi bertahan, terutama di masa depan.
Pasalnya selama COVID-19 berdasarkan data Organisasi
Angkutan Darat (ORGANDA), ada
sekitar Rp 9
triliun potensi pemasukan angkutan darat per bulan hilang. Moda darat tersebut mencakup bus, taksi, angkot,
sampai angkutan antar provinsi.
Dengan kondisi tersebut memang
mau tidak mau digitalisasi harus dipercepat. ORGANDA juga mengapresiasi pemain
transportasi darat yang mulai mengaplikasikan teknologi berbasis online
tersebut.
"Memang ada yang tidak siap
ke arah sana. Tapi ada juga yang sudah mulai melakukan. Angkot ada yang mulai menerapkan
adopsi digital, seperti proses booking online. Kalau seperti taksi dan angkutan
logistik sudah ada yang terdigitalisasi," tutup Ketua ORGANDA Andre
Djokosoetono.
Sumber : Kontan, 19.06.2020 / Foto : Bisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar