Bisnis.com, JAKARTA – Sebanyak 16 asosiasi yang tergabung dalam Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo) mengusulkan
agar fly ash dan bottom ash
(FABA) untuk dikeluarkan dari daftar limbah B3 di Tabel
4 Lampiran I PP No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun.
Sebagai informasi, FABA
dihasilkan dari proses pembakaran batubara pada fasilitas pembangkit listrik
tenaga uap PLTU, boiler, dan/atau tungku industri.
“Ke-16 asosiasi yang tergabung
dalam Apindo tersebut sepakat untuk mengusulkan delisting FABA, karena
berdasarkan hasil ujinya pun menyatakan bahwa FABA bukan merupakan limbah B3,”
ujar Ketua Umum Dewan
Pimpinan Nasional Apindo Haryadi B. Sukamdani dalam keterangan pers, Kamis (18/6/2020).
Asosiasi tersebut antara lain Gabungan Perusahaan Karet
Indonesia (Gapkindo), Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI), Indonesian
Mining Association (IMA), Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh
Indonesia (GAPMMI), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Kimia Dasar
Anorganik Indonesia (AKIDA), Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (APOLIN),
Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia
(APROBI), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Asosiasi Industri
Olefin, Aromatik & Plastik Indonesia (INAPLAS), Asosiasi Aneka Industri
Keramik Indonesia (ASAKI), Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia
(APBI-ICMA), Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI), Asosiasi
Produsen Serat Benang dan Filament Indonesia (APSyFI), dan Gabungan Industri
Minyak Nabati Indonesia (GIMNI).
FABA, yang dihasilkan berkisar
antara 10 juta–15 juta ton/tahun, saat ini dikategorikan sebagai limbah B3.
Dari hasil uji karakteristik mudah meledak, mudah menyala, reaktif, infeksius,
dan/atau korosif, uji toksikologi Lethal Dose-50 (LD50), serta Toxicity
Leaching Procedure (TCLP) dari beberapa uji petik kegiatan industri menunjukkan
bahwa FABA tersebut memenuhi baku mutu/ambang batas persyaratan yang tercantum
dalam PP No. 101 Tahun 2014, sehingga dikategorikan sebagai limbah non-B3,
seperti halnya di beberapa negara, antara lain Amerika Serikat, China, India,
Jepang, dan Vietnam.
Direktur
Eksekutif APKI Liana Bratasida
mengatakan bahwa rate kegiatan pemanfaatan FABA di Indonesia masih tergolong
sangat kecil, yaitu hanya 0%–0,96% untuk pemanfaatan fly ash dan 0,05%–1,98%
untuk pemanfaatan bottom ash.
Padahal, pemerintah sering
menggaungkan bahwa kegiatan pengelolaan limbah melalui kegiatan pemanfaatan
memiliki hierarki yang lebih tinggi daripada kegiatan pemusnahan dan
pengolahan, serta penimbunan.
Di beberapa negara tersebut di
atas, FABA juga telah dimanfaatkan sebagai material konstruksi, seperti untuk
campuran semen dalam pembangunan jalan, jembatan, dan timbunan, reklamasi bekas
tambang, serta untuk sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.
“Bahkan, rate pemanfaatan FABA di
negara-negara itu sudah cukup tinggi, berkisar antara 44,8%–86%,” ujarnya.
KLHK telah mengeluarkan Peraturan
Menteri LHK No. 10 Tahun 2020 tentang Tata Cara Uji Karakteristik dan Penetapan
Status Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, dan ternyata telah diundangkan pada 4 Mei 2020.
Namun, Permen tersebut disusun
tanpa melibatkan pelaku kegiatan usaha/industri, sehingga Permen tersebut sulit
untuk diimplementasikan di lapangan dan pengecualian limbah B3 dari pengelolaan
limbah B3 tidak sesuai dengan tujuan diterbitkannya Permen itu sendiri.
“Pada akhirnya, karena Permen LHK
No. 10 Tahun 2020 diterbitkan tidak sesuai dengan tujuannya, maka harapan kami
adalah sisa pembakaran batubara berupa fly ash dan bottom ash (FABA) dapat
dikeluarkan (delisting) dari daftar limbah B3 di Tabel 4 Lampiran I PP No. 101
Tahun 2014,” tegasnya.
Sumber : Bisnis, 18.06.20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar