SURABAYA: PT Pelabuhan
Indonesia III dan sejumlah pelaku usaha sektor kepelabuhan di Tanjung Perak
Surabaya hingga kini masih menunggu proses perizinan untuk melakukan proses
revitalisasi alur pelayaran barat Surabaya (APBS) dari Kementrian Perhubungan
sehingga proyek bernilai investasi sekitar Rp659 miliar itu bisa dimulai.
Kepala Humas PT Pelindo III,
Edy Priyanto menegaskan pihaknya dan sejumlah pihak khususnya pelaku usaha yang
beroperasi di Pelabuhan Tanjung Perak sangat mengharapkan pemerintah bisa
segera memberikan izin untuk segera memulai proses revitalisasi APBS.
“Jawaban dari dari
Kementrian Pehubungan masih ditunggu, ini terkait rencana revitalisasi APBS
yang diharapkan bisa diperdalam dari minus 10,5 meter menjadi minus 14 meter
LWS [low water spring] dan
diperlebar dari 100 meter
menjadi 200 meter. Pemprov Jatim sudah berkirim surat awal tahun ini, tapi
belum ada jawaban,” kata Edi kepada Bisnis, hari ini, Senin 13 Februari 2012.
Edy menjelaskan pihaknya
telah melakukan sejumlah persiapan terkait program revitalisasi APBS.
“Proses studi kelayakan dan
persiapan lainnya sudah dilakukan, untuk studi kelayakan menelan Rp2 miliar.
Estimasi biaya untuk revitalisasi diprediksi mencapai US$73,33 juta atau
sekitar Rp654,97 miliar dengan taksiran biaya pengelolaan setiap tahun US$8
juta. Sejumlah model pengerjaan juga telah ditawarkan ke kementrian BUMN,”
ujarnya.
Anggota Komisi D DPRD Jatim
Agus Maimun mengungkapkan persoalan keterbatasan APBS menjadi kendala utama
bagi proses peningkatan perdagangan dan pariwisata di Jatim.
“Faktanya akibat alur yang
tidak dalam maka kapal petikemas untuk ekspor-impor masih generasi biasa, bukan
kelas kapal besar dengan muatan dan volume yang besar. Kasus pipa gas telah
membuat kapal
petikemas mesti mengurangi
muatan sehingga batas draft kapal 8,5 meter bisa dicapai. Revitalisasi seharusnya
menjadi keniscayaan,” kata Agus.
Ketua INSA Cabang Surabaya,
Steven H. Lasawengen menyatakan pihaknya merupakan kalangan pelaku usaha yang
paling dirugikan terkait belum maksimalnya APBS.
”Keberadaan APBS yang belum
maksimal ini membuat high cost bagi pelaku usaha pelayaran. Bayangkan saja,
APBS dengan lebar 100 meter membuat kapal mesti masuk dan keluar ditandu secara
satu-satu, kondisi ini membuat waktu bongkar muat menjadi lama dan tidak
efisien yang memicu biaya produksi tinggi,” kata Steven.
Sekretaris Eksekutif
Asosiasi Logistik dan Forweder Indonesia Jatim, Diah Agusmuslim menegaskan
kalangan ekspedisi dan pengusaha logistik sangat merasakan beratnya biaya
produksi akibat lamanya proses bongkar muat dan kapasitas muatan kapal yang
dikurangi.
”Revitalisasi APBS sehingga
bisa two way traffic dari one way traffic, sehingga lebih lancar dan efisien
terhadap cost of production. Ini sangat diharapkan pengusaha ekspedisi dan
forweder di Tanjung Perak,” tegas Agus. (faa)
Sumber : Bisnis Indonesia, 13.02.12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar