Kemacetan dan kesemrawutan
sudah jadi pemandangan sehari-hari di kota-kota besar di Indonesia, terutama
Jakarta. Kemacetan itu timbul selain rendahnya sikap disiplin warga Jakarta dan
kota besar lainnya, juga belum tertatanya infrastruktur transportasi massal
yang memadai.
Ancaman stagnasi
Data Polda Metro Jaya
menyebutkan ada sekitar 12 juta kendaraan hilir mudik pada 2011 di jalan-jalan
Jakarta. Padahal pada 2010 ini jumlah kendaraan di Jakarta baru mencapai
11.362.396 unit kendaraan. Terdiri dari 8.244.346 unit kendaraan roda dua dan
3.118.050 unit kendaraan roda empat.
Jika jumlah kendaraan tahun
ini ditambah dengan masuknya kendaraan baru sebanyak 700.000 kendaraan,
termasuk di kota-kota sekitar Jakarta, maka akan ada sekitar 12 juta jumlah
kendaraan menyemut dan mengular di jalan Jakarta setiap hari.
Bila sebagian besar pemilik
kendaraan itu bekerja di Ibu kota, maka lalulintas di dalam tol secara otomatis
akan bertambah parah.
Sementara pertumbuhan luas
jalan relatif tetap, sekitar 0,01%/tahun. Jika tak segera ada pembenahan pola
transportasi, pada 2014 Jakarta diperkirakan akan mengalami kemacetan total,
mungkin juga bisa lebih cepat.
Sebuah survai yang dilakukan
Kementerian perekonomian tahun lalu menyebutkan kerugian akibat kemacetan lalu
lintas di Indonesia bisa mencapai Rp28,1 triliun per tahunnya.
Grand design sistem transportasi
Sumber kemacetan dan
kesemrawutan transportasi darat di Indonesia lebih disebabkan belum adanya visi
pemerintah dalam merancang desain besar sistem transportasi darat.
Belum adanya sistem
transportasi massal yang memadai dan nyaman seperti di negara lain seperti
Jepang, China, bahkan Singapura dan Malaysia menjadikan Indonesia tertinggal
empat sampai lima langkah dari negara tetangga tersebut.
Negeri kita, terutama Dinas
Perhubungan malah getol memberikan izin baru kepada angkot-angkot hingga menjadikan
Jakarta dan kota-kota sekitarnya menjadi kota seribu angkot.
Tidak adanya grand desain
sistem transportasi terlihat pada pembangunan infrastruktur yang acak-acakan
dan terkesan menganut kebijakan yang mendadak dan hanya cari proyek saja.
Pemerintah lebih menyukai
cara-cara instan daripada mengeluarkan kebijakan jangka panjang yang berdampak
pada turunnya minat masyarakat menggunakan kendaraan pribadi dan lebih menyukai
menggunakan sarana angkutan massal.
Apa kabarnya MRT dan
monorel?
Kementerian Perhubungan
mengklaim sudah mempunyai grand design transportasi yang tertuang dalam Sistem
Transportasi Nasional (Sistranas). Sistem ini memuat tatanan transportasi, baik
darat, laut, dan udara yang terkoordinasi, sehingga diharapkan bisa membentuk
sistem transportasi yang efektif dan efisien.
Sesuai Sistranas, sistem MRT
seharusnya sudah diwujudkan. Namun, baru 2012 pembangunan MRT fase pertama
jalan. Ini diakibatkan tidak terkoordinasinya kebijakan pemerintah daerah dan
pusat, sehingga implementasinya macet.
Jakarta, misalnya, selain
busway, kita pernah mendengar akan dikembangkan sistem transportasi monorel,
kereta api bawah tanah (subway), dan juga waterway yang memanfaatkan aliran
sungai.
Namun, rencana itu selalu
terkendala berbagai masalah, seperti sulitnya pembebasan lahan, regulasi, dan
interkoneksi. Moda transportasi di Jakarta tidak saling terkoneksi, sehingga
kendaraan pribadi lagi-lagi menjadi pilihan.
Pembangunan moda
transportasi massal yang berupa MRT (subway atau monorail) beserta sistem yang
mendukungnya yang telah digagas oleh Pemerintah Provinsi Jakarta jauh jauh
hari, hal ini didukung oleh pemerintah akan tetapi realisasinya sangat lambat
dan terkesan setengah hati. Mungkin banyak tarik menarik kepentingan di
dalamnya.
Bila dibandingkan dengan
Busway, moda transportasi MRT lebih banyak mengangkut pengguna sarana umum
daripada Busway yang kapasitas angkutnya terbatas dan menggunakan sebagian ruas
jalan.
Mega proyek yang ada bukan
tanpa masalah. Setelah sempat berhenti karena kehabisan dana pada 25 Maret
2009, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meneruskan
pembangunan dan proyek MRT dengan disponsori JICA (Japan International
Cooperation Agency) dengan biaya pinjaman diperkirakan total 120 miliar yen.
Investasi yang bukan main
main besarnya dan kalaupun gagal akan menjadi aib tersendiri bagi pemerintah.
Untuk itu pengerjaan proyek yang dilaksanakan harus diawasi secara ketat dan
terukur. Supaya dana yang ada jelas penggunaannya.
Jalan tol dan non-tol
Cara instan Pemprov DKI
Jakarta dalam menanggapi keluhan kemacetan warga bisa dilihat dari rencana
penggelaran proyek-proyek pembangunan jalan raya baru. Pemprov DKI Jakarta
masih memegang teguh cara berpikir lama, bahwa penambahan panjang jalan mampu
mengatasi kemacetan lalu lintas.
Lihat saja, belum selesai
proyek Pemprov DKI Jakarta membangun jalan layang Antasari dan Dr Satrio
(Casablanca, Jakarta Selatan). Kini Pemprov DKI Jakarta sudah berencana
membangun enam jalan tol dalam kota baru.
Tahap pertama, akan dibangun
dua ruas jalan tol untuk jalur Semanan-Sunter sepanjang 17,88 kilometer. Nilai
investasinya Rp9,76 triliun. Kemudian ruas Sunter-Bekasi Raya sepanjang 11
kilometer dengan nilai investasi Rp7,37 triliun.
Tahap kedua, dua ruas jalan
tol koridor Duri Pulo-Kampung Melayu sepanjang 11,38 kilometer dengan nilai
investasi Rp5,96 triliun dan Kemayoran-Kampung Melayu sepanjang 9,65 kilometer
dengan investasi Rp6,95 triliun.
Kemudian tahap ketiga akan
dibangun ruas jalan Tol Dalam Kota Koridor Ulujami-Tanah Abang sepanjang 8,27
kilometer dengan nilai investasi Rp4,25 triliun. Dan terakhir atau tahap
keempat dibangun ruas jalan Tol Dalam Kota Koridor Pasar Minggu-Casablanca
sepanjang 9,56 kilometer dengan investasi Rp5,71 triliun.
Selain menghambur-hamburkan
banyak anggaran, pembangunan infrastruktur jalan tol dan nontol tersebut tentu
saja bukan solusi jangka panjang, dan hanya menunda persoalan saja. Dan
manakala jumlah kendaraan terus bertambah lagi, toh akhirnya jalan yang baru
dibangun pun akan macet juga.
Sebuah penelitian yang
dilakukan di California menunjukkan bahwa setiap 1% penambahan panjang jalan
dalam setiap mil jalur akan menghasilkan peningkatan kendaraan bermotor sebesar
0,9% dalam waktu lima tahun (Hanson, 1995).
Bahkan Studi kelayakan
pembangunan jalan tol dalam kota Jakarta (PT. Pembangunan Jaya, Mei 2005)
justru menyatakan bahwa setiap pertambahan jalan sepanjang 1 km di Jakarta akan
selalu dibarengi dengan pertambahan kendaraan sebanyak 1923 mobil pribadi.
Artinya, akan semakin banyak
kendaraan bermotor yang datang ke Jakarta, karena difasilitasi adanya jalan
raya baru. Jika demikian halnya maka sudah jelas bahwa kemacetan lalu lintas
dan juga polusi udara juga tidak akan bisa diatasi dengan pembangunan jalan
raya baru, termasuk pembangunan enam jalan tol dalam kota baru.
Karena pembangunan jalan
baru akan memfasilitasi pengunaan kendaraan bermotor di Jakarta, maka pihak
yang pertama diuntungkan dari proyek itu jelas industri otomotif. Betapa tidak,
menurut data Polda Metro Jaya, penambahan mobil baru di Jakarta rata-rata 250
unit per hari, sedangkan sepeda motor mencapai 1.250 unit per hari.
Angkutan Kereta Api
Jangan tanya soal moda
angkutan transportasi kereta api. Selain sarana dan prasarananya yang sudah tua
dan jauh dari kesan layak, sumber daya manusia yang ada di dalamnya pun cukup
memprihatinkan.
Belum lagi maraknya calo
yang dilegalkan, karena dikoordinir oknum pegawai PT kereta Api, pedagang
asongan yang dengan bebasnya naik turun gerbong kereta, dan penjagaan keamanan
yang minim menjadikan angkutan tersebut masih jauh dari harapan sebagian besar
masyarakat Indonesia, khususnya ibu kota.
Pemerintah Pusat, sebagai
pemilik prasarana kereta api pun seperti tutup mata dengan kondisi ini. Di
bawah pengelolaan yang kurang profesional, dan kurangnya jumlah gerbong kereta,
maka solusi kereta api masih belum bisa dilakukan.
Mungkin opsi penyelenggaraan
kereta api swasta yang sempat digulirkan pada 2006 bisa dikembangkan kembali
mengingat setiap usaha di mana tidak ada persaingan di dalamnya, biasanya
pelayanannya buruk.
Maut mengancam di jalan
Nampaknya masih banyak hal
yang perlu dibenahi bersama dengan terdapatnya kesemrawutan transportasi kita.
Ini dibuktikan dengan
banyaknya kecelakaan lalu lintas akhir-akhir ini, yang diperparah dengan
ketidakkonsistenan kebijakan yang bergulir, kecenderungan berganti pimpinan
atau pemegang kebijakan, berubah pula kebijakan yang ada akhirnya tidak bisa
dihindari.
Tidak disiplinnya pembatasan
tonase kendaraan dan uji laik operasi bagi truk dan kendaraan yang melintas di
jalan menjadikan jalanan bisa menebarkan maut setiap saat sehingga banyak
merusak jalan yang akhirnya membahayakan pengguna jalan lainnya.
Belum lagi mudahnya pengguna
kendaraan dalam mendapatkan surat izin mengemudi (SIM) menjadikan cukup banyak
pengemudi berkualitas rendah di jalanan kota besar seperti Jakarta.
Apalagi, kurang tertibnya
pengemudi angkutan umum atau angkot dalam menaikkan dan menurunkan penumpang,
menjadikan hanya sopir dan Tuhan lah yang tau kemana kendaraan itu bergerak.
Belum lagi kurangnya sarana
trotoar yang nyaman dan lebar untuk pejalan kaki sehingga orang lebih suka
menggunakan motor atau mobil untuk keluar kantor meskipun hanya dekat saja.
Solusi setengah hati
Sistem transportasi
kota-kota besar di Indonesia yang karut marut memang tidak bisa diatasi dengan
sekejap saja, karena butuh dukungan semua pihak, terutama masyarakat pengguna
jalan.
Pemerintah juga perlu serius
menerapkan grand design agar tercipta angkutan massal multimoda yang
terintegrasi, bukan hanya mengejar proyek semata sehingga terkesan
menyelesaikan masalah tanpa visi yang jelas dan hanya setengah hati.(api)
Sumber : Bisnis Indonesia,
16.02.12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar