Kabar
buruk memang telah lama datang dari bisnis pertambangan dan penggalian, yang terpukul
hebat oleh penurunan harga sejak tahun lalu. Efek ikutan secara perlahan
merembet ke perbankan, dimana cicilan kredit di sektor ini perlahan seret, yang
berujung pada meningkatknya kredit bermasalah.
Industri
yang terpuruk, juga berakibat alergi perbankan untuk menyalurkan kredit
tersebut. Sektor pertambangan dan penggalian, misalnya, turun signifikan dari
Rp140,25 triliun pada Juni tahun lalu menjadi hanya Rp119,95 triliun atau
anjlok 14,47%.
Penurunan
ini pada akhirnya menghambat pertumbuhan kredit hingga paruh pertama tahun ini.
Simak data Otoritas Jasa Keuangan yang menyebutkan secara industri, penyaluran
kredit hingga Juni 2016 tumbuh terendah dalam lima tahun terakhir sebesar
8,88%. Sejumlah sektor memang mencatat pertumbuhan sangat tinggi di atas 20%
seperti kelistrikan dan sektor pertanian.
Namun,ekspansi
tersebut gagal menopang laju pertumbuhan secara industri. Sejumlah bank besar,
bahkan kelimpungan menangani kredit bermasalah –yang salah satunya bersumber
dari sektor bertambangan—memaksa manajemen menyisihkan pencadangan sehingga
laba tergerus hebat, bahkan ada bank sampai merugi.
Bila
merujuk pada wilayah, Pulau Kalimantan mengalami penderitaan paling hebat dari
longsornya bisnis pertambangan dan penggalian. Kita semua tahu, pulau bebas
patahan ini merupakan penghasil utama pertambangan khususnya batu-bara. Saat
booming harga komoditas, bermunculan orang kaya baru dari wilayah ini.
Saat
harga komoditas ambruk, serta merta rasio kredit bermasalah sektor pertambangan
di Kalimantan meningkat. Bahkan, NPL sektor pertambangan dan penggalian di
Kalimantan Timur mencapai 43,25% per Juni 2016. Ini sebuah angka yang
fantastis, karena dari total kredit sektor ini di Kaltim sebesar Rp3,73
triliun, Rp1,6 triliun diantaranya bermasalah.
Pertumbuhan
ekonomi Kalimantan tahun lalu juga memprihatinkan, kendati secara spasial hanya
berkontribusi 8,15% terhadap produk domestik bruto Indonesia. Tahun lalu
wilayah ini mencatat pertumbuhan minus, dan pada semester pertama 2016, khusus
Kalimantan Timur tercatat minus 1,15%. Kalimantan adalah contoh bagaimana
rentannya perekonomian yang ditopang oleh salah satu sektor utama.
Ibarat
meletakkan telur dalam satu keranjang, potensi risikonya pasti jauh lebih
besar. Ini prinsip alamiah dalam bisnis. Namun, mitigasi risiko yang lebih baik
rasanya patut menjadi perhatian semua pihak. Bagi perbankan,Kalimantan adalah
pelajaran yang berharga, betapa geliat perekonomian bisa bersifat semu.
Bisnis
yang tiba-tiba maju, adalah bentuk deviasi lain yang bisa mengecoh para analis
kredit mereka di lapangan. Akibatnya, bank salah melakukan analisa prudent atas
setiap rupiah kredit yang mereka kucurkan.
Oleh
karena itu, tak mengherankan bila hal yang di luar dugaan terjadi di Kalimantan
Timur. Lagi-lagi bagi perbankan, nasi telah menjadi bubur, kredit yang mereka
kucurkan bermasalah, dan memaksa mereka melakukan restrukturisasi, energi yang
seharusnya tidak perlu dikeluarkan bila lebih hati-hati dalam melakukan analisa
usaha dari para calon debitur.
Kerugian
yang dialami pelaku bisnis pertambangan dan perbankan, belum menghitung
kerusakan alam yang dialami wilayah tersebut. Sebagaimana diakui oleh Gubernur
Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak, para pengusaha batu bara yang bangkrut,
kini meninggalkan kolam-kolam raksasa hasil penggalian yang tidak direklamasi.
Belajar
dari Kalimantan, sudah selayaknya jika para pemangku kepentingan kembali menata
bisnis dan memitigasi risiko secara lebih baik. Khusus bagi perbankan, jatuhnya
harga komoditas terasa akibatnya sekarang, sehingga mereka bisa kembali
mengelola risiko secara lebih baik. Harian ini melihat, langkah sejumlah bank
melakukan restrukturisasi kredit dan menyediakan pencadangan kerugian memadai
atas kredit bermasalah mereka perlu diapresiasi.
Langkah
ini memang tergolong konservatif, tetapi sekali lagi ini adalah sebuah langkah
kehati-hatian untuk melokalisasi persoalan.
Sumber
: Bisnis Indonesia, 31.08.16.