Bisnis.com,
JAKARTA - Migrasi modul kepabeanan untuk kegiatan pemberitahuan importasi barang
(PIB) dari sebelumnya menggunakan versi modul PIB.5.0.7 ke versi PIB.6.0.3
yang diberlakukan sejak Kamis (11/8/2016) di Pelabuhan Tanjung Priok
tidak berjalan mulus dan mengakibatkan ribuan dokumen impor tidak bisa
diproses.
Ketua Forum
Pengusaha Jasa Transportasi dan Kepabeanan (PPJk) Pelabuhan Tanjung Priok,
M.Qadar Djafar
mengatakan kondisi ini menyebabkan ribuan dokumen PIB yang disampaikan melalui elektronic
data interchange (EDI) atau yang ditransfer oleh perusahaan pengurusan jasa transportasi
dan kepabeanan (PPJK) yang mewakili importir di Pelabuhan Priok tidak
bisa direspons dalam sistem kepabeanan online Bea dan Cukai Pelabuhan Priok.
"Persoalannya
ada pada fasilitas EDI-nya yang tidak mampu menampung untuk menginstal seluruh
data yang ada pada PPJK agar bisa menyesuaikan dengan siatem modul baru itu.
Bahkan untuk menginstal secara manual pun harus mengantre sejak pagi. Akibatnya
barang impor tertahan lebih lama di pelabuhan,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis
(11/8/2016).
Dia
mengatakan perubahan versi modul PIB itu sehubungan dengan telah diterbitkannya
Peraturan
Dirjen Bea dan Cukai No. Per-20/BC/2016 tentang Perubahan Ketiga atas Perdirjen
Bea dan Cukai No. P-22/BC/2009 tentang Pemberitahuan Pabean Impor.
Dalam
beleid itu disebutkan PIB dengan versi modul baru mulai di terapkan di
Pelabuhan Priok pada 11 Agustus 2016,sedangkan di Bandara Soekarno Hatta pada
18 Agustus 2016.
“Perdirjen
itu pun belum pernah disosialisasikan kepada PPJK di Pelabuhan Priok, sehingga
saat diterapkan hari ini kami kaget kok dokumen impor tidak bisa di submit
setelah di transfer melalui sistem EDI,” paparnya.
Qadar
mendesak instansi terkait segera membenahi masalah ini agar kelancaran
importasi melalui pelabuhan Priok bisa tetap berjalan sebagaimana mestinya,
lantaran pengusaha dirugikan atas kondisi ketidakyamanan dalam proses importasi
tersebut.
Pasalnya,
kata dia, dengan diterbitkannya Perdirjen tersebut pihak PPJK maupun importir
harus menggunakan modul software baru, sehingga untuk instalasi dan pengintegrasiannya
atau konektivitasnya memerlukan proses dan waktu yang tidak sebentar.
“Sudah
pasti importir rugi karena barangnya tidak bisa diurus oleh PPJK yang menjadi
kuasanya di Pelabuhan Priok. Kerugian bisa berupa bertambahnya masa penumpukan
barang impor di pelabuhan hingga tersendatnya kegiatan industri di pabrik
karena bahan baku impor terlambat sampai pabrik,” paparnya.
Qadar
mengatakan jika masalah tersebut tidak ditangani secara cepat dan tepat maka
akan terjadi penumpukan barang impor dalam skala besar di pelabuhan Priok yang
berpotensi menimbulkan kepadatan di pelabuhan tersibuk di Indonesia itu. Selain
itu juga membuat dwelling time di Pelabuhan Priok ikut naik dari yang saat ini
sudah rata-rata kurang dari 4 hari.
Dia
menyebutkan jumlah perusahaan PPJK yang beroperasi di Priok saat ini mencapai
1.200 perusahaan. “Apalagi besok itu sudah mendekati akhir pekan dan biasanya
closing time diberlakukan di pelabuhan. Kalau masalah ini berlarut-larut akan
menimbulkan ancaman kongesti di pelabuhan,” tuturnya.
Ketua
Bidang Multimoda DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia, Gagan Gartika
menyatakan meskipun sudah ada beberapa perusahaan logistik di Priok yang
menginstal sesuai dengan sistem modul versi terbaru PIB itu tetapi dalam
praktiknya tetap gagal untuk transfer dokumen PIB.
Dia
juga mengaku armada truk tidak bisa melayani order pengangkutan barang impor
sejak pagi hari ini (11/8) akibat kacau balaunya sistem transfer dokumen
kepabeanan di pelabuhan Priok.
“Gak
tahu lagi harus bagaimana. Yang jelas truk kami belum narik hari ini padahal
ada order dari pagi. Info yang kami dapat sistem penerimaan dokumen eror,”ujar
Gagan kepada Bisnis.
MINTA DITUNDA
Sementara
itu, Asosiasi
Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta sudah meminta agar
implementasi versi baru modul PIB di pelabuhan Priok itu ditunda karena
diperlukan masa transisi sebelum diterapkan.
Ketua DPW
ALFI DKI Jakarta Widijanto mengatakan pada 9 Agustus 2016 asosiasinya sudah
menyurati Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi supaya menunda pelaksanaan
Perdirjen No:20/BC/2016 tersebut.
Dalam
surat DPW ALFI DKI No:0127/DPW-ALFI/DKI/VIII/16 yang juga ditembuskan kepada Menko
Bidang Perekonomian dan Menteri Keuangan itu disebutkan, alasan
penundaan selain belum di sosialisasikan secara menyeluruh kepada pelaku usaha
terkait, juga butuh persiapan untuk konektivitas terhadap sistem baru tersebut.
“Sebab
jika terjadi hambatan arus barang akibat ketidaksiapan sistem baru modul PIB
itu justru akan menyebabkan biaya logistik membengkak di lapangan,” ujarnya.
Widijanto
mengatakan jika lebih dari satu hari proses pengeluaran barang dari pelabuhan
Priok terhambat maka importir akan dikenakan biaya tarif progresif penumpukan
yang justru menimbulkan ekonomi biaya tinggi dalam proses importasi.
Wakil Ketua
BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Erwin Taufan mengatakan seharusnya
dilakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada seluruh pengguna jasa pelabuhan
Priok sebelum menerapkan modul baru PIB sebagaimana diamanatkan dalam Perdirjen
No. 20/BC/2016.
Sumber
: Bisnis Indonesia, 11.08.16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar