JAKARTA
— Ombudsman mencermati tren peningkatan laporan dari kalangan dunia usaha
terkait dengan layanan publik, terutama yang menyangkut layanan kemudahan
berinvestasi di tingkat pemerintah daerah.
Anggota
Ombudsman
Adrianus Meliala mengatakan salah satu langkah yang dilakukan untuk
menaikkan kemudahan berusaha yakni memperbaiki pelayanan publik. Negara harus
menjamin penyelenggaraan pelayanan publik bagi penciptaan iklim investasi yang
baik.
Dia
menjelaskan lambannya penerbitan perizinan hingga maraknya pungutan “liar” yang
dilakukan oleh sejumlah instansi pemerintah ditengarai menjadi ganjalan dalam
menumbuhkan healthy business.
“Ombudsman
akan memperketat pengawasan untuk mendukung kelancaran dunia usaha. Beberapa
sektor yang bakal menjadi perhatian seperti perizinan, pertanahan, listrik,
imigrasi, dan pajak,” ujarnya, Senin (22/8).
Selain
itu, pihaknya telah melakukan pertemuan dengan stakeholders yang terdiri dari
pemegang regulasi dan pelaku usaha untuk mencari titik temu mengenai upaya
menciptakan iklim usaha yang baik.
Anggota
Ombudsman lainnya, La Ode Ida menjelaskan secara umum sistem Pelayanan
Terpadu Satu Pintu (PTSP) sudah berlangsung dengan baik.
Hanya
saja, masalah sebenarnya bukan pada sistem itu, tetapi pada level yang lebih
bawah lagi yakni di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). “Pelaku usaha
acapkali merasa dipersulit ketika sedang mengurus perizinan atau keperluan
lainnya di dinas terkait,” katanya.
SATUKAN DATA
Sementara
itu, Komisioner
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menjelaskan salah
satu variabel yang digunakan untuk mengukur indeks kemudahan berbisnis adalah
tingkat korupsi di suatu negara.
Jika
menilik ke beberapa tempat, negara yang memiliki tingkat korup si yang rendah
memiliki kemudahan berbisnis paling tinggi.
Karena
itu, untuk mewujudkan kemudahan investasi, mereka sedang mengupayakan membentuk
integrasi data ditingkat lembaga negara, kemen terian, hingga ke SKPD.
Data-data
dari satuan kerja itu diintegrasikan dengan PTSP supaya pelayanan perizinan
bagi pelaku usaha bisa berlangsung cepat.
KPK
mendorong percepatan izin dan pembenahan birokrasi di sejum lah sektor. Di
sektor pertambangan misalnya, ada sekitar 3.900-an izin usaha pertambangan (IUP)
yang bermasalah.
Karena
itu dengan menggandeng Kementerian ESDM mereka berusaha menuntaskan IUP yang
bermasalah tersebut. Selain sektor pertambangan, fokus pencegahan korupsi juga
dilakukan di sektor migas, keuangan negara, dan perpajakan.
Alexander
menambahkan integrasi data itu sangat diperlukan, misalnya ketika petugas pajak
sedang melakukan investigasi pajak.
Menurutnya
dari pembicaraan dengan beberapa petugas pajak, mereka seringkali mengalami
kesulitan dalam mengakses data wajib pajak. Karena itu, dengan adanya integrasi
data petugas pajak bisa tahu identitas wajib pajak dan hal itu tentu saja
memudahkan mereka untuk menarik pajak dari WP itu. Efek jangka panjangnya ada
lah menaikkan pendapatan ne gara dari sektor pajak.
Survei
tentang Ease of Doing Business (EODB) yang dilakukan World Bank pada 2015
menunjukkan Indonesia menempati posisi 109 dari 189 negara.
Peringkat
itu menunjukkan kemudahan bisnis di Indonesia hanya beranjak enam tingkat sejak
reformasi bergulir. Padahal, survei EODB mencerminkan kondisi investasi suatu
negara. Semakin baik peringkat EODB suatu negara, menjadi tolok ukur tingkat
kemudahan berbisnis di negara tersebut.
Sementara
itu, dari sisi indeks persepsi korupsi skor Indonesia saat ini mencapai 36 dan
menempatkannya di peringkat 88 dari 168 negara. Meski naik 19 peringkat dari
tahun sebelumnya, angka ini masih jauh dari yang diharapkan.
KPK
menargetkan pada tahun depan, CPI Indonesia bisa mencapai 50. Upaya itu
merupakan bagian dari menaikkan kepercayaan pelaku bisnis. Integrasi data dan
rendahnya angka penyimpangan termasuk korupsi akan menaikan skor corruption
perception index (CPI).
Sumber
: Bisnis Indonesia, 23.08.16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar