JAKARTA.
PT
Krakatau Steel Tbk (KRAS) berupaya menambah pendapatan dengan membangun
pabrik baja lembaran panas alias hot strip mill kedua. Bila tidak ada halangan,
Senin (22/8), Krakatau akan melaksanakan tiang pancang perdana alias
groundbreaking pabrik ini.
Di
proyek konsorsium dengan SMS Group Gmbh, KRAS berharap bisa
mendongkrak kinerja bisnis mereka di masa depan. Maklum, saat ini produk baja
lembaran panas menjadi penyumbang terbesar pendapatan Krakatau Steel. Tahun
lalu, penjualan produk ini tumbuh 60% dari 2014. "Makanya kami tertarik
membangun pabrik baru hot strip mill," kata Tambok P Setyawati, Direktur
Keuangan Krakatau Steel kepada KONTAN, Minggu (21/8).
Manajemen
KRAS berharap, pabrik senilai US$ 381,8 juta ini bisa beroperasi pada semester
I-2019. Target kapasitas produksi mencapai sekitar 1,5 juta ton per tahun. Direktur Utama KRAS Sukandar
mengatakan, proyek ini untuk meningkatkan kapasitas produksi enggulungan baja
(rolling) dari 2,4 juta ton per tahun menjadi 3,9 juta ton per tahun.
"Tahap selanjutnya akan ditambah fasilitas lain untuk meningkatkan
kapasitas jadi 4 juta ton," kata Sukandar dalam konferensi pers di Cilegon,
Senin (22/8).
Untuk
membangun pabrik ini, Krakatau Steel sudah
mendapat fasilitas kredit senilai US$ 260,05 juta dari Euler-Hermes yang
merupakan agen kredit ekspor pemerintah Jerman. Instansi ini juga akan menjamin
9% risiko gagal bayar perusahaan.
Selain
itu, Krakatau Steel juga tengah berupaya menekan biaya produksi. Salah satu
cara adalah membangun tanur metalurgi (blast furnace) berbasis batubara.
Tambok
berharap, proyek ini bisa menghasilkan baja perdana (first blow) di akhir tahun
nanti. Dari hasil riset Pricewaterhouse Coopers, keberadaan tanur ini bisa
menekan biaya produksi KRAS hingga US$ 58,3 per ton. "Di China ada pabrik
yang bisa menekan biaya produksi hingga US$ 100, kami akan bertahap menuju ke
sana," terang Tambok.
Bila
semuanya lancar, ia berencana bakal mengoptimalkan pasar baja di dalam negeri
lantaran dari hitung-hitungan biaya transportasi lebih murah ketimbang pasar
ekspor. Selain itu, harga baja di dalam negeri juga lebih baik ketimbang luar
negeri.
Produk
HSM 2 menyasar segmen otomotif, rerolling, pila dan tabung serta konstruksi.
Proyek pembangunan akan dikerjakan kleh konsorsium SMS Group GmbH dengan PT
Krakatau Engginering. Proyek direncanakan selesai dalam waktu 31,5 bulan dan
selesai pada awal 2019.
Strategi
ini tak lepas dari hasil kinerja semester I-2016. Menurut Tambok, meski
pendapatan Krakatau Steel turun 2,67% dari periode serupa tahun lalu yakni
sebesar US$ 659,15 juta, tapi KRAS bisa memperkecil kerugian hingga 32% menjadi
US$ 93,28 juta.
Kondisi
ini terjadi lantaran KRAS menerapkan
strategi efisiensi. Yakni mengatur pembelian bahan baku slab (besi bekas) saat
harga bahan baku baja tengah turun. Langkah lainnya adalah memilih pemasok baja
yang menawarkan baja dengan harga miring. Strategi ini membuat KRAS bisa
berhemat 80% untuk membeli bahan baku baja.
Selain
itu, harga baja juga mulai membaik di periode April dan Mei 2016. Sayang, ia tidak merinci kisaran harga di
periode tersebut. Yang jelas untuk harga baja di pasar lokal saat ini US$
500-US$ 600 ton. "Di semester pertama, harga pokok penjualan (HPP) kami
naik 22%," katanya.
Sumber
: Kontan, 22.08.16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar