Bisnis.com,
JAKARTA—Pemerintah Indonesia diminta berfokus pada perudingan bilateral dan
regional lainnya dibandingkan Trans-Pacific Partnership, mengingat
Amerika sebagai pasar utama yang diincar berpotensi besar membatalkan
ratifikasi perjanjian perdagangan ini.
Wakil Ketua
Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia
Shinta Widjaja Kamdani
mengatakan Presiden Amerika ke-44 Barack Obama awalnya berencana meratifikasi
Trans-Pacific Partnership (TPP) pada periode lame duck.
Namun,
dengan kemenangan Partai Republik dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden
Amerika ke-45, aksi ratifikasi tersebut berpotensi besar gagal. Saat ini,
Indonesia memang masih mengkaji dampak jika ikut dalam perjanjian perdagangan
yang dipimpin Amerika tersebut.
“Tapi
kalau memang [ratifikasi] TPP batal, tidak ada gunanya [Indonesia ikut
bergabung]. Lebih baik kita fokus di CEPA [Comprehensive Economic Partnership
Agreement] regional maupun bilateral saat ini sedang kita
negosiasikan,” ujar Shinta kepada Bisnis, Kamis (10/11/2016).
Direktur
Penelitian Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan Trump
menyatakan penolakan keras atas TPP. Dengan pernyataan tersebut artinya
kemungkinan Amerika bergabung dalam TPP gugur.
Padahal,
jelas Faisal, satu-satunya keuntungan Indonesia bergabung dalam TPP yakni
potensi besar pasar di Amerika untuk perdagangan tekstil dan alas kaki. Sebab,
TPP sebenarnya juga mengatur hal selain perdagangan yang malah dinilai
merugikan bagi Indonesia.
”Jika
Amerika mundur, klausul yang menjadi keuntungan kita masuk TPP tersebut hilang.
Keikutsertaan kita di perjanjian ini hanya akan membawa banyak kerugian,” papar
Faisal.
Sementara
itu, kendati situasi politik mempersempit peluang ratifikasi TPP, Kementerian
Perdagangan (Kemendag) menyatakan proses kajian dampak keikutsertaan Indonesia
dalam perjanjian ini tetap dilakukan.
“Kajian
tetap dilakukan,” ujar Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
Kementerian Perdagangan (BP3 Kemendag) Tjahya Widayanti ketika dihubungi.
Dalam
kajian sementara sebelum Trump terpilih, Tjahya menyebut ekspor Indonesia ke
Amerika akan mengalami peningkatan terbesar jika Indonesia ikut dalam TPP.
Setidaknya, potensi nilai ekspor mencapai US$2,3 miliar ke Amerika atau naik
12,7%.
Terbuka
juga peluang ekspor baru ke negara-negara Amerika Latin dan Amerika Utara, tapi
dengan nilai pengapalan jauh di bawah Amerika. Potensi ekspor ke Meksiko
misalnya, diproyeksi bisa mencapai US$189 juta jika Indonesia ikut TPP.
Sebaliknya,
ekspor ke negara-negara Asean tak menunjukkan peningkatan berarti. Peluang
ekspor ke Malaysia hanya senilai US$28 juta, sedangkan nilai pengapalan ke
Singapura dan Brunai Darrusalam diproyeksi nihil.
Kajian
pihak Kemendag merinci, jika Indonesia masuk dalam keanggotaan TPP, sektor
tekstil dan alas kaki menjadi penerima manfaat terbesar. Sebab, dua sektor
tersebut akan diuntungkan karena penurunan tarif di negara-negara TPP.
Diproyeksikan,
ekspor tekstil dan alas kaki Indonesia masing-masing akan naik sebesar 22% dan
18%. Dengan kenaikan itu, Kemendag menghitung ekspor tekstil dan alas kaki akan
menyumbang 70% tambahan ekspor usai Indonesia bergabung di TPP.
Adapun,
sektor olahan makanan, mesin, karet, dan produk kimia juga dinilai akan
mencatatkan peningkatan ekspor yang signifikan.
Sumber
: Bisnis Indonesia, 11.11.16.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar