Bisnis.com, JAKARTA--Pelaku industri
tekstil dan produk tekstil berharap pemerintah dapat memperbaiki iklim usaha di
dalam negeri selain mempermudah ekspor ke mancanegara.
Ernovian G Ismy, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia, mengatakan perjanjian dagang dengan negara mitra bakal
mengerek nilai ekspor dan memperbesar pangsa pasar. Namun, hal ini tidak cukup
agar industri dalam negeri berkembang dengan optimal.
"Harus ada supporting dari
dalam negeri," ujarnya Minggu (2/9/2018).
Ernovian menyebutkan beberapa aspek
yang masih perlu diperbaiki antara lain terkait tarif listrik, kemudahan
distribusi, dan kualitas sumber daya manusia. Pemerintah juga dinilai perlu
untuk menghilangkan proteksi terhadap impor bahan baku dan melindungi produk
hilir dari gempuran impor.
Dia juga berpendapat impor bahan
baku seharusnya tidak dibatasi, tetapi diawasi dan dikendalikan. Apalagi,
lanjutnya, saat ini sudah ada pusat logistik berikat (PLB).
Terkait dengan kerja sama bilateral Indonesia-Australia
Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) yant ditargetkan
dapat diratifikasi pada November 2018, Ernovian menuturkan
perjanjian tersebut bisa memberikan dampak peningkatan market share ekspor
pakaian jadi ke Australia. Sepanjang 2017, dari total nilai ekspor TPT sebesar
US$12,5 miliar, share ke Negara Kangguru tersebut 1,8%.
"Dengan Jepang kan sudah lama
ada perjanjian kerja sama IJ-EPA, ekspor kita meningkat," katanya.
Adapun, dia pun juga berharap
pemerintah bisa segera menyelesaikan perjanjian dagang dengan mitra utama
seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa yang menjadi tujuan utama ekspor tekstil
dalam negeri.
Kementerian Perindustrian
memperkirakan ekspor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) naik hingga 3 kali
lipat apabila perjanjian perdagangan bebas (free trade
agreement/FTA) dengan Eropa dan Amerika bisa diselesaikan.
Achmad Sigit Dwiwahjono, Dirjen Industri Kimia, Tekstil,
dan Aneka (IKTA) Kemenperin, mengatakan
hingga kini akses pasar yang kurang masih menjadi kendala industri TPT karena
belum ada FTA dengan negara-negara Eropa dan Amerika. Sementara, produk TPT
negara tetangga, seperti Vietnam bisa masuk dengan bea masuk 0%.
"Kalau FTA bisa diselesaikan secepatnya,
ekspor bisa naik 3 kali lipat. Saat ini ekspor TPT Indonesia sekitar US$12
miliar," ujarnya.
Oleh karena itu, Kemenperin terus
mendorong Kemendag untuk mempercepat perluasan pasar melalui FTA. Saat ini,
pangsa pasar produk TPT dalam negeri baru sekitar 1,8%, sedangkan di Indonesia
industri TPT telah terintegrasi dari hulu hingga hilir sehingga potensi
berkembang masih besar.
Sigit menuturkan Kemenko
Perekonomian menargetkan perjanjian dagang dengan Eropa bisa selesai pada tahun
ini karena telah berproses sejak 2 tahun yang lalu. Ekspor produk TPT ke benua
biru mencapai US$5 miliar per tahun atau sebesar 35% dari nilai total ekspor
produk TPT.
"Kalau enggak bisa dilaksanakan
secara keseluruhan, kami minta early harvest khusus untuk tekstil. Ditukar
dengan otomotif atau komoditas lain supaya bisa masuk dengan tarif
rendah," jelasnya.
Pada tahun ini, ekspor TPT
ditargetkan naik dari US$12 miliar menjadi US$15 miliar. Sigit menyebutkan
ekspor industri padat karya ini merupakan penyumbang terbesar ketiga dari
seluruh industri manufaktur.
Sumber : Bisnis, 02.09.18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar