Bisnis.com, JAKARTA—Aplikasi
penyedia jasa transportasi berbasis daring dinilai lebih baik ditutup dan
pemerintah membuat aplikasi untuk para pelaku usaha transportasi berizin.
Pendapat itu disampaikan jika
penyedia jasa transportasi online atau daring tidak menginginkan adanya aturan.
Akademisi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang,
Djoko Setijowarno, mengungkapkan putusan Mahkamah
Agung yang kembali membatalkan beberapa pasal dalam Permenhub
No. PM 108/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan
Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek merugikan konsumen dan pengemudi
transportasi daring.
“Jika tidak mau diatur, sebaiknya
ditutup saja dan pemerintah dapat membuat aplikasi yang diberikan kepada semua
usaha taksi reguler yang berizin,” kata Djoko kepada Bisnis, Sabtu (15/9/2018).
Dia menjelaskan, setiap
penyelenggaraan aktivitas transportasi yang melibatkan publik harus diatur.
Tidak hanya di Indonesia, di negara
lain pun penyelenggaraan transportasi daring terdapat beleid yang mengaturnya.
“Jangan [hanya] melirik murahnya,
tetapi jaminan keselamatan, keamanan dan kenyamanan minim sekali [pada
transportasi daring],” katanya.
Dia menjelaskan, terdapat 10 pasal
yang dicabut dalam putusan MA No. 15 P/HUM/2018 pada 31 Mei 2018 terkait
Peraturan Menteri Perhubungan No. 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan
Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Substansi 10 pasal yang dicabut
adalah terkait argometer, stiker, dokumen perjalanan yang sah, persyaratan teknis
perizinan (minimal 5 kendaraan, tempat menyimpang kendaraan, bengkel), STNK atas nama badan hukum, badan hukum
koperasi tempat menyimpan kendaraan,
SRUT dan Buku Uji Kendaraan, larangan perusahaan aplikasi, dan
sanksi tanda khusus.
Sementara ada empat pasal yang tidak dicabut
adalah kode khusus Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, tarif batas atas dan batas
bawah, aplikasi menetapkan tarif dan promosi, dan pengenaan sanksi.
Sumber : Bisnis, 15.09.18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar