KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perbankan di
Indonesia mulai aktif melakukan penggabungan usaha atau merger. Bila melihat
data Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) dari tahun ke tahun jumlah bank umum di Indonesia
terus menurun, meski tak signifikan. Pada tahun 2015 misalnya terdapat 118
bank, lalu jumlah ini menurun menjadi 116 bank di 2016. Hanya saja
jumlah ini relatif stabil di dua tahun terakhir menjadi 115 bank saja.
Data mencatat setidaknya ada enam
bank yang bakal dimerger. Pastinya jumlah bank akan terus menurun. Terbaru
misalnya merger antara PT Bank Tabungan Nasional Tbk (BTPN) dengan PT
Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBC) pasca pembelian saham mayoritas
BTPN oleh investor Jepang.
Selain itu, pada Mei 2019 mendatang PT
Bank Danamon Indonesia Tbk dan PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk (BNP) juga
bakal dimerger setelah kepemilikan Danamon diambil alih oleh
MUFG. Beberapa bank lain yang juga akan merger yakni PT
Bank Dinar Indonesia Tbk (Bank Dinar) dengan PT Bank Oke Indonesia, serta
merger PT Bank Agris dan PT Bank Mitraniaga Tbk.
Selain itu, bank-bank raksasa di
Indonesia juga dikabarkan berencana melakukan akuisisi bank di tahun ini. Salah
satunya PT Bank Central Asia Tbk (BCA) yang mengincar satu hingga dua
bank kecil untuk dijadikan bank digital, hal ini telah digaungkan oleh Direktur
Utama BCA Jahja Setiaatmadja sejak tahun 2018 silam.
Selain BCA, bank pelat merah juga
sudah mengisyaratkan rencana akuisisi perbankan di tahun ini. PT Bank Mandiri
Tbk misalnya yang menyebut memiliki kelebihan modal sebesar Rp 30 triliun yang
akan dipakai untuk mengakuisisi satu bank umum di level menengah. PT Bank
Negara Indonesia Tbk (BNI) juga menyebutkan niatnya untuk membeli bank di tahun
ini.
Namun, baik BCA, Mandiri maupun BNI
belum dapat merinci nama bank yang bakal dicaplok tahun ini.
Pengamat Perbankan Paul Sutaryono mengatakan, tentunya perampingan jumlah bank di
Indonesia kelak dapat mendorong industri perbankan yang lebih positif.
Misalnya, antara lain menekan jumlah kasus fraud perbankan karena pengawasan
dapat dilakukan lebih efektif.
"Makin sedikit jumlah bank
umum, akan makin mudah bagi OJK untuk melaksanakan pengawasan. Alhasil, bisnis
perbankan bisa semakin berkembang," kata Paul kepada Kontan.co.id, Minggu
(17/2).
Namun, Paul menyebut saat ini sulit
untuk menentukan jumlah bank umum yang ideal. Sebab, hal itu perlu
dipertimbangkan dengan jumlah auditor OJK. Dengan kata lain, selain menghitung
jumlah bank yang ideal, OJK harus juga mencari rasio ideal satu auditor dengan
jumlah bank yang dapat diawasi.
Seruan perampingan bank tidak hanya
datang dari OJK maupun pengamat perbankan. Ketua Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional
(Perbanas) Kartika Wirjoatmodjo pernah menyebut kalau jumlah bank harus
dikurangi. Menurut Kartika setidaknya jumlah ideal bank ada di sekitar 70 bank.
"Memang harus diturunkan atau
dikurangi jumlah bank. Idealnya menurut kami, jumlah bank itu di kisaran 50-70
bank. Perlu ada konsolidasi ini, kalau bank memiliki beberapa ya wajib
di-merger," katanya (28/1).
Sejatinya, konsolidasi penting
dilakukan agar persaingan di pasar perbankan semakin longgar terutama melihat
kondisi likuiditas dana pihak ketiga (DPK) yang kian mengetat. Bagi bank besar,
tentu tidak menjadi persoalan lantaran punya cukup kuat infrastruktur dan
permodalan untuk bersaing. Menurut Tiko sapaan akrab Kartika yang paling
mendapat tekanan dalam persaingan yang kian sengit ini adalah bank-bank kecil.
Selain mendorong bank agar
berkonsolidasi, OJK juga pernah menyerukan rencana revisi baleid kepemilikan
tunggal bank (single presence policy). Walau tak semerta-merta bisa
menyurutkan jumlah bank, tentu dari segi ekonomi hal ini bakal menguntungkan
perbankan.
Sumber : Kontan, 18.02.19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar