Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan pemerintah Amerika
Serikat untuk mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang diperkirakan
bakal membuat produk Tanah Air makin rentan menjadi objek penyelidikan
antisubsidi oleh Negeri Paman Sam dan berpotensi mendapat tambahan bea masuk.
Dalam kebijakan baru AS yang
berlaku sejak 10 Februari 2020 tersebut, Indonesia dikeluarkan dari daftar
negara berkembang sehingga kebijakan
perlakuan khusus (special differential treatment/SDT) yang tersedia dalam WTO
Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tidak lagi berlaku bagi
Indonesia.
Akibatnya, batasan de minimis
untuk margin subsidi agar suatu penyelidikan antisubsidi dapat dihentikan,
harus diturunkan dari kurang atau sama dengan 2 persen menjadi kurang atau sama
dengan 1 persen.
Selain itu, kriteria negligible
import volumes yang tersedia bagi negara berkembang tidak lagi berlaku bagi
Indonesia.
Direktur
Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati mengemukakan bahwa batas pangsa pasar impor
individual yang dulu berlaku bagi Indonesia adalah sebesar 4 persen atau 9
persen jika digabung dengan sesama negara berkembang lainnya.
"Hal ini akan berdampak pada
semakin mudahnya pihak otoritas Amerika Serikat untuk mengenakan bea masuk
anti-subsidi terhadap produk-produk Indonesia," kata Pradnyawati kepada
Bisnis, Senin (24/2/2020).
Meski, klasifikasi Indonesia
sebagai negara maju menurut aturan baru ini hanya diperuntukkan bagi
penyelidikan antisubsidi, Pradnyawati mengatakan bukan tak mungkin bahwa
kebijakan ini bakal diaplikasikan dalam cakupan yang lebih luas. Di antaranya
dalam penyelidikan trade remedies lain seperti antidumping dan safeguard.
Adapun sampai saat ini, produk
Indonesia yang mendapat tuduhan subsidi oleh Amerika Serikat mencakup biodiesel
dan utility scale wind towers yang masing-masing nilainya berjumlah US$255,56
juta dan US$90,38 juta.
Pradnyawati mengemukakan sejumlah
produk lain yang yang rentan menjadi objek penyelidikan subsidi adalah besi dan
baja, berbagai jenis kertas, dan sawit beserta produk turunannya.
"Secara eksternal kami
[Kemendag] melakukan pembelaan terhadap produk yang dituduh mengandung subsidi.
Sementara secara internal kami melakukan sosialisasi kepada regulator dan
pelaku usaha untuk menghindari tuduhan subsidi dari negera mitra," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang
dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani menilai Indonesia bakal lebih sulit dalam membela
diri dan membuktikan tidak adanya subsidi pada produk ekspor dengan batas baru
yang ditentukan.
Shinta pun menyebutkan Indonesia bakal lebih rentan karena
negara maju seperti AS dan terutama negara Uni Eropa, kerap melakukan klaim
"particular market situation" pada negara emerging market seperti
China, India, dan Indonesia dalam kasus penyelidikan antisubsidi dan
countervailing duties.
"AS dan Uni Eropa kerap
menolak untuk mengakui bahwa negara tertuduh melakukan praktik perdagangan yang
baik dan sehat sesuai dengan konsep 'market economy'," kata Shinta kepada
Bisnis.
Hal ini disebutnya mengakibatkan
besaran penghitungan subsidi menjadi besar dan bisa mencapai 300 persen
tergantung pemasok pembanding di Amerika Serikat. Dengan demikian, negara
tertuduh pun tidak bisa memberi pembelaan secara efektif.
Sumber : Bisnis, 24.02.2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar