24 Februari 2020

[240220.ID.BIZ] Kebijakan AS: Produk Ekspor RI Makin Rentan Digugat

Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan pemerintah Amerika Serikat untuk mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang diperkirakan bakal membuat produk Tanah Air makin rentan menjadi objek penyelidikan antisubsidi oleh Negeri Paman Sam dan berpotensi mendapat tambahan bea masuk.

Dalam kebijakan baru AS yang berlaku sejak 10 Februari 2020 tersebut, Indonesia dikeluarkan dari daftar negara berkembang sehingga kebijakan perlakuan khusus (special differential treatment/SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tidak lagi berlaku bagi Indonesia.

Akibatnya, batasan de minimis untuk margin subsidi agar suatu penyelidikan antisubsidi dapat dihentikan, harus diturunkan dari kurang atau sama dengan 2 persen menjadi kurang atau sama dengan 1 persen.

Selain itu, kriteria negligible import volumes yang tersedia bagi negara berkembang tidak lagi berlaku bagi Indonesia.

Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Pradnyawati mengemukakan bahwa batas pangsa pasar impor individual yang dulu berlaku bagi Indonesia adalah sebesar 4 persen atau 9 persen jika digabung dengan sesama negara berkembang lainnya.

"Hal ini akan berdampak pada semakin mudahnya pihak otoritas Amerika Serikat untuk mengenakan bea masuk anti-subsidi terhadap produk-produk Indonesia," kata Pradnyawati kepada Bisnis, Senin (24/2/2020).

Meski, klasifikasi Indonesia sebagai negara maju menurut aturan baru ini hanya diperuntukkan bagi penyelidikan antisubsidi, Pradnyawati mengatakan bukan tak mungkin bahwa kebijakan ini bakal diaplikasikan dalam cakupan yang lebih luas. Di antaranya dalam penyelidikan trade remedies lain seperti antidumping dan safeguard.

Adapun sampai saat ini, produk Indonesia yang mendapat tuduhan subsidi oleh Amerika Serikat mencakup biodiesel dan utility scale wind towers yang masing-masing nilainya berjumlah US$255,56 juta dan US$90,38 juta.

Pradnyawati mengemukakan sejumlah produk lain yang yang rentan menjadi objek penyelidikan subsidi adalah besi dan baja, berbagai jenis kertas, dan sawit beserta produk turunannya.

"Secara eksternal kami [Kemendag] melakukan pembelaan terhadap produk yang dituduh mengandung subsidi. Sementara secara internal kami melakukan sosialisasi kepada regulator dan pelaku usaha untuk menghindari tuduhan subsidi dari negera mitra," ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani menilai Indonesia bakal lebih sulit dalam membela diri dan membuktikan tidak adanya subsidi pada produk ekspor dengan batas baru yang ditentukan. 

Shinta pun menyebutkan Indonesia bakal lebih rentan karena negara maju seperti AS dan terutama negara Uni Eropa, kerap melakukan klaim "particular market situation" pada negara emerging market seperti China, India, dan Indonesia dalam kasus penyelidikan antisubsidi dan countervailing duties.

"AS dan Uni Eropa kerap menolak untuk mengakui bahwa negara tertuduh melakukan praktik perdagangan yang baik dan sehat sesuai dengan konsep 'market economy'," kata Shinta kepada Bisnis.

Hal ini disebutnya mengakibatkan besaran penghitungan subsidi menjadi besar dan bisa mencapai 300 persen tergantung pemasok pembanding di Amerika Serikat. Dengan demikian, negara tertuduh pun tidak bisa memberi pembelaan secara efektif.

Sumber : Bisnis, 24.02.2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar