KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/ Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif berharap dapat membantu pemangku kebijakan dalam menetapkan regulasi yang tepat untuk mengatur dan mengelola perpajakan ekonomi digital dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) di masa yang akan datang.
“Hal
ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai kebijakan pemerintah saat ini
dan kebijakan yang mungkin akan diambil oleh pemerintah ke depan dalam mengatur
kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik, mengingat perkembangan ekonomi
digital yang sangat pesat,” kata Ari Juliano Gema, Staf Ahli Menteri Bidang
Reformasi Birokrasi dan Regulasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Berdasarkan
laporan Google, Temasek, dan Bain, nilai ekonomi digital di Asia Tenggara, khususnya transaksi e-commerce,
pada 2019 mencapai 100 miliar dolar AS. Dari jumlah tersebut, sebesar 40%
berasal dari Indonesia. “Bank Indonesia mencatat, di tahun 2019, jumlah
transaksi e-commerce di Indonesia setiap bulannya mencapai Rp 13 triliun,” ujar
Ari Juliano dalam keterangan yang diterima Kontan.co.id, Minggu (16/8).
Melihat
besarnya nilai transaksi e-commerce tersebut, beberapa negara kemudian
mempertimbangkan bahkan sudah menerapkan kebijakan perpajakan yang dapat menjangkau
pelaku usaha yang secara fisik tidak berada di negara tersebut.
“Salah
satu isu perpajakan dalam PMSE lintas batas negara saat ini adalah bahwa barang
tidak berwujud dan jasa dari luar negeri yang masuk melalui internet di suatu
negara tidak dikenakan tarif impor, yang umumnya terdiri dari bea masuk, PPN,
dan PPh,” jelas Ari Juliano. Hal ini tentu mengurangi kesempatan negara untuk
memperoleh pendapatannya.
Ari
Juliano mengatakan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar
269 juta jiwa dan pengguna internet sebanyak 175,4 juta. Maka bisa dilihat
bahwa Indonesia memiliki jumlah penduduk yang begitu banyak dan pengguna
internet aktif yang sangat tinggi. Ini merupakan aset yang memiliki nilai
ekonomi dan seharusnya memberikan kontribusi yang cukup tinggi kepada negara.
“Untuk
itu, Pemerintah Indonesia harus berani mengusulkan model perhitungan dan
pemungutan PPh berbasis data pengguna tersebut untuk menjadi konsensus
internasional demi kebijakan perpajakan yang adil,” lanjut Ari Juliano.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian
Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu, mengatakan seluruh dunia sudah melihat bahwa
tren ekonomi digital semakin kuat. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan pada
physical presence dalam konteks perpajakan dan konteks fiskal,” sebut Febrio.
Febrio
melanjutkan, Pemerintah saat ini masih mempelajari perpajakan ekonomi digital.
Namun, mulai 1 Juli 2020, Pemerintah telah mengenakan PPN atas pemanfaatan
barang kena pajak tidak berwujud dan jasa kena pajak dari luar dan dalam daerah
pabean melalui PMSE.
Sumber : Kontan, 16.08.2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar