Masih ingat penjualan perusahaan produsen cokelat Cadbury asal Inggris ke Kraft di Amerika Serikat yang dipenuhi protes warga Inggris? Kisah ini ternyata tak selesai usai penjualan itu pada awal tahun 2010. Kini masalah itu masih berlanjut. Semula persoalan itu adalah soal harga diri warga Inggris yang tak rela perusahaan bersejarah itu dijual ke perusahaan asing. Maklum saja, Cadbury memiliki sejarah yang tak sedikit terkait dengan sejarah Inggris.
Bagi warga Inggris, Cadbury menjadi salah satu ikon yang menjadi kebanggaan mereka sejak perusahaan itu didirikan pada 1824 oleh Jhon Cadbury di Birmingham. Perusahaan ini terlibat dalam Perang Dunia I dengan mengirim karyawannya ke medan perang dan Perang Dunia II dengan memasok sejumlah kebutuhan militer.
Kini persoalan lain muncul. Persoalan yang terkait dengan kultur perusahaan yang berbeda. Bagaimana masalah kultur dua perusahaan ini akan selesai?
Bila di Indonesia sejumlah orang dengan mudah menjual perusahaannya kepada perusahaan asing, di Inggris, tempat lahir Cadburdy, kasus ini menjadi perbincangan yang panjang. Rakyat Inggris masih ”tidak terima” dengan penjualan perusahaan yang memiliki sejarah kedekatan dengan Cadbury.
Dari penjualan Cadbury mereka kini mengkhawatirkan penjualan perusahaan lainnya. Surat kabar Financial Times, pekan lalu, mengabarkan sebuah panel yang bernama Takeover Panel telah mengusulkan aturan-aturan merger dan akuisisi perusahaan.
Meski aturan-aturan itu berupa aturan teknis keuangan, banyak pihak menilai aturan ini diharapkan bisa menghambat penjualan-penjualan perusahaan Ingris. Dalam kaitan ini mereka menduga aturan itu dibuat setelah kasus Cadbury itu. Apalagi pasca-penjualan itu, Cadbury mengurangi karyawannya hingga Pemerintah Inggris geram dan menyatakan cara mereka sangat tidak bijak.
Aturan baru itu diharapkan juga menyinggung soal keuntungan yang didapat karyawan dan juga pemegang saham bila penjualan dilakukan.
Di sisi lain, masalah intern antara Kraft dan Cadbury juga muncul. Kapitalisasi Kraft yang empat kali lebih besar dibanding Cadbury serta kultur dua perusahaan menjadi masalah tersendiri. Kultur Cadbury cenderung egaliter, sementara kultur Kraft agak rumit. Cadbury memiliki kebiasaan terdesentralisasi, sementara Kraft memiliki kebiasaan yang sangat terstruktur.
Dari hal ini kemudian banyak komentar yang menyebutkan, sejak awal mereka sudah menduga bahwa banyak masalah akan muncul bila kedua perusahaan itu diintegrasikan. Sudah barang tentu kedua kultur berbeda itu tidak mudah untuk disatukan.
Eksodus sejumlah eksekutif Cadbury menjadi bukti soal bentrokan kedua kultur itu. Akan tetapi, Kraft membantah adanya eksodus itu karena masih banyak eksekutif Cadbury yang bertahan. Meskipun demikian, Kraft menyadari adanya persoalan kultural itu.
Untuk menangani masalah ini, Kraft mengadakan pertemuan besar di Chicago dengan mengundang para eksekutif Kraft dan Cadbury. Dalam sebuah acara yang disebut ”pertemuan perekatan” itu dibahas upaya-upaya strategis agar ditemukan kesamaan pandangan. Pertemuan lima hari itu disebutkan sebagai pertemuan yang membahas aspek-aspek kultur perusahaan.
Kraft menolak kritik-kritik soal proses integrasi ini. Perusahaan ini menyatakan mereka tengah membuat keputusan yang ringkas dan tak akan berlarut-larut mengenai integrasi. Mereka menyatakan bahwa mereka memiliki visi untuk mentransformasikan Cadbury menjadi perusahaan makanan global yang kuat. (ANDREAS MARYOTO)
Sumber : Kompas, 30.05.11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar