JAKARTA — Ekonom menyambut program pemerintah untuk
memperkuat anggaran infrastruktur tahun ini. Sekarang kuncinya adalah: bisakah
pemerintah menyalurkannya sesuai target?
“Anggaran akan bertambah. Namun, kemampaun untuk
menyalurkan uang sebetulnya tak mudah,” papar Andrew Steel, direktur pelaksana
Fitch Ratings dalam forum baru-baru ini di Jakarta. “Terdapat
proyek-proyek besar, keputusannya pun pasti beragam.”
Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah membutuhkan
lebih dari USD400 miliar demi membangun jalan tol, bendungan serta pembangkit
listrik. Pembangunan serta perbaikan diperlukan guna memangkas biaya logistik
sekaligus menyokong era manufaktur.
Tahun ini, pemerintah meningkatkan anggaran infrastruktur
hingga rekor USD22 miliar. Selain itu, pemerintah juga memburu investasi dari
pemodal swasta.
Tapi dalam beberapa tahun terakhir, pencairan alokasinya
tak cukup memdai. “Kami pikir, sekarang risikonya adalah anggaran di bawah
target ketimbang dana minim,” papar Chua Hak Bin, ekonom dari Bank of America
Merrill Lynch (BAML) dalam catatan penelitian terbarunya.
Tahun lalu pemerintah menyalurkan 84,7 persen dari
keseluruhan anggaran infrastruktur yang lebih kecil, menurut data BAML.
Pemerintah mengaku tengah mengatasi persoalan ini.
Beberapa bulan lalu pemerintah mengadakan tender untuk proyek-proyek negara.
Selain itu, pemerintah juga mempromosikan sistem pencairan online untuk
merampingkan proses perolehan dana.
Pemerintah juga menginjeksi lebih banyak modal bagi Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), sehingga dapat memperkuat program infrastruktur.
Menurut beberapa petinggi, cara itu dapat mempercepat penyelesaian proyek
infrastruktur.
“Kondisi ini adalah cerminan paradigma baru,” kata
Suahasil Nazara, kepala kebijakan fiskal Kementerian Keuangan pada Kamis.
Menurutnya, pemerintah kini punya “perangkat baru guna memperkuat pengeluaran.”
Injeksi demi menarik lebih banyak modal merupakan
“sesuatu yang kita perkirakan—bukan bulan depan atau dua bulan ke depan, tetapi
dalam jangka menengah. Kita ingin melihat kemampuan pemerintah untuk
memanfaatkan.”
Namun, injeksi ini bukannya tanpa masalah. Apalagi, modal
akan lari ke perusahaan yang, di masa lalu, mempunyai masalah korupsi.
Sementara beberapa investor menanti waktunya rencana ini bisa dieksekusi.
Keragu-raguan mereka dapat berdampak pada pengeluaran.
Sejumlah BUMN bakal memburu pendanaan dari luar serta melepas obligasi demi
mempercepat proyek masing-masing.
“Muncul semacam makna simbolis bahwa Joko Widodo sanggup
mengimplementasikan kebijakan ekonomi secara cepat,” papar Eric Stein. Ia
merupakan manajer portofolio di Eaton Vance Investment managers berbasis
Boston, Amerika Serikat.
Di lain sisi, komunitas investor mencemaskan kalau-kalau
pemerintah tak secara cermat mengawasi BUMN,” imbuhnya. “Penyesuaian kebijakan
bakal lebih efektif memperkuat kepercayaan sektor swasta.”
Paling tidak, beberapa ekonom menilai langkah pemerintah
sebagai isyarat, bahwa pemerintah tak hanya bicara.
“Barangkali ini bukan gagasan yang revolusioner,” sebut
Eric Sugandi, ekonom Standard Chartered berbasis Jakarta. “Yang membuat
perbedaan adalah, pemerintah terkini berhasrat kuat mewujudkan ide itu.” (Oleh
Ben Otto)
Sumber : The Wall Street Journal, 09.03.15.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar