Bisnis.com, JAKARTA—Sejumlah
perusahaan pengurusan jasa transportasi dan kepabeanan (PPJK), hingga hari
ini, Rabu (21/3/2018) masih terus mendatangi kantor DPW ALFI DKI Jakarta
untuk menyampaikan keluhan terkait penerapan Permenkeu No:229/PMK.04/2017.
Para PPJK menyampaikan keluhan
tersebut lantaran beleid itu merugikan pelaku bisnis bahkan cenderung
berpotensi membunuh PPJK yang pada umumnya tergolong usaha kecil dan menengah
atau UKM.
"Saya kena Notul (nota pembetulan)
dan harus tambah bayar bea masuk hingga ratusan juta rupiah karena alasan
terlambat menyerahkan surat keterangan asal (SKA) barang impor sehingga SKA
dianggap tak berlaku.Padahal sesuai aturan seharusnya tidak ada tambah bayar
atau notul itu.Ini baru hari ini kejadiaanya," ujar salah satu diantara
PPJK yang melaporkan keluhan itu di kantor ALFI hari ini Rabu (21/3/2018).
Ketua DPW ALFI DKI Jakarta, Widijanto mengatakan, akibat pemberlakuan beleid itu saat ini
banyak PPJK anggota ALFI DKI Jakarta harus menanggung bea masuk barang, padahal
semestinya sesuai aturan tidak dikenakan bea masuk sebagaimana kesepakatan
perdagangan bebas Asean.
"Sudah ada ratusan PPJK yang
lapor ke ALFI masalah ini, baik langsung maupun melalui email. Saya juga sudah
komunikasi dengan Dirjen Bea Cukai Heru Pambudi kemarin malam dan meminta supaya
ada solusi masalah ini segera," tuturnya.
Widijanto menegaskan, sesuai beleid
itu, batas waktu penyerahan surat keterangan asal (SKA) untuk
barang yang masuk jalur merah atau kuning hanya diberikan satu hari atau sampai
pukul 12.00 hari berikutnya. Terhitung
sejak pemberirahuan impor barang (PIB) mendapatkan penetapan jalur
kuning (PJK) atau penetapan jalur merah (PJM) dikantor pelayanan pabean yang
sudah menerapkan jam kerja 24/7. Sedangkan yang belum
menerapkan pola 24/7 paling lambat dua hari terhitung hingga pukul 12.00 pada
hari berikutnya.
Dia mengatakan, batas waktu tersebut
terlalu singkat bagi barang yang melalui jalur merah dan harus diperiksa fisik
oleh petugas pabean serta apabila melewati batas waktu tersebut maka SKA
dianggap tidak berlaku lagi.
Padahal, kata Widijanto, dalam
kesepakatan perdagangan internasional SKA berlaku satu tahun. Akibat
penerapan SKA yang terlalu singkat dalam beleid itu, importir dikenakan nota
pembetulan (notul) dan membayar bea masuk yang sangat tinggi hingga ratusan
juta rupiah.
"Padahal tarif preferensi adalah
kesepakatan internasional untuk memperlancar proses perdagangan di dunia,
bukan justru menghambat dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi dalam proses
importasi," tuturnya.
Anehnya, ungkap Widijanto, dalam
beleid itu disebutkan justru terhadap barang yang notabene tidak perlu
pemeriksaan atau melalui jalur hijau penyerahan SKA paling lambat tiga hari
bagi kantor pelayanan pabean yang menerapkan pola 24/7 dan tiga hari kerja bagi
kantor pabean yang belum menerapkan 24/7.
Bahkan,kata dia, bagi importir yang
menjadi mitra utama atau prioritas, batas waktu penyerahan SKA lebih longgar
hingga lima hari kerja sejak PIB mendapatkan surat persetujuan pengeluaran
barang (SPPB). Sementara itu
untuk penyelenggara/pengusaha tempat penimbunan berikat (TPB) paling lama tiga hari
kerja sejak PIB mendapatkan SPPB.
Widijanto menjelaskan, ALFI DKI
memahami beleid itu berdasarkan manajemen risiko yang diterapkan Ditjen Bea dan
Cukai.
Akan tetapi, kebijakan ini justru
menimbulkan rasa ketidakadilan bagi pelaku usaha dan dapat membunuh anggota
ALFI yang notabebe UKM lantaran PPJK harus menanggung semua beban biaya bea
masuk akibat keterlambatan penyerahan SKA karena importir menolak untuk membayar
bea masuk yang disebabkan keterlambatan tersebut.
"Kami menilai kebijakan ini
adalah yang berkasta memuliakan pelaku usaha global/asing dan meminggirkan usaha nasional,"
tuturnya.
Sumber : Bisnis Indonesia, 21.03.18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar