KONTAN.CO.ID
- JAKARTA. Peta pangsa industri nikel nasional bergeser dengan cepat. Dalam kurun waktu 4 tahun saja, Indonesia Morowali Industrial Park
(IMIP) mampu menggeser posisi PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Vale Indonesia
Tbk (INCO) dalam penguasaan produk nikel di Indonesia.
Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola
Mineral dan Batubara Irwandy Arif membeberkan, pada tahun 2014, produksi nikel
masih dikuasai oleh Vale dengan porsi 77%. Disusul Antam dengan 19% dan lainnya
sebanyak 3%.
Namun,
peta industri hilir nikel hingga produk setengah jadi (intermediate product)
itu telah berubah dengan drastis. Pada 2018, IMIP sudah menguasai 50% dari
produksi hilir nikel di Indonesia. Porsi Vale pun susut jadi 22% dan Antam
hanya 5% saja.
Perusahaan
nikel BUMN itu juga sudah tersalip oleh Virtue Dragon yang memegang
porsi produksi nikel sebesar 11%, Harita Group 6% dan perusahaan lainnya
sebesar 6%.
"Apa
yang terjadi pada 2023, pasti komposisinya akan berubah drastis lagi. Luar
biasa perkembangannya," ungkap Irwandy dalam webinar tentang pemanfaatan
nikel yang digelar Selasa (13/10).
Dia
menambahkan, industri hilir nikel semakin kompetitif dan masih menjanjikan,
baik untuk pengembangan industri berbasis stainless steel maupun untuk industri
baterai. Sayangnya, hingga sekarang seluruh produk yang dihasilkan smelter di
Indonesia masih dalam intermediate product atau produk setengah jadi.
Secara
keseluruhan, lebih dari 90% produk smelter Indonesia masih berupa produk
berbasis Nikel Pig Iron (NPI). "Perkembangan produksi smelter cukup
signifikan, tetapi 99%, atau semuanya 100% masih intermediate produk. 90% lebih
adalah produk NPI," ujar Irwandy.
Berdasarkan
jenis kemurniannya, nikel yang produksi di Indonesia juga masih didominasi oleh
nikel kelas dua yang menghasilkan NPI atau FeroNikel. Sedangkan porsi nikel
kelas satu untuk menghasilkan nikel matte dan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP)
masih mini.
Saat
ini, kebutuhan nikel global juga masih
didominasi untuk industri stainless steel sebesar 71%. Sedangkan untuk
kebutuhan industri lainnya seperti baterai masih mini, yakni 3%.
Namun,
pembangunan smelter di Indonesia sudah mulai beragam. Irwandy mengungkapkan,
paling tidak sudah ada enam perusahaan yang berencana membangun smelter nikel
dengan High Pressure Acid Leaching (HPAL). Dari keenam
smelter HPAL itu, lima diantaranya ditargetkan bisa beroperasi pada tahun 2021
mendatang.
Keenam
perusahaan yang membangun smelter HPAL itu adalah PT Halmahera Persada Lygend, PT Adhikara
Cipta Mulia, PT Smelter Nikel Indonesia, PT Huayue, PT QMB dan PT Vale Indonesia.
Belum
lagi, rencana holding pertambangan MIND ID untuk membangun smelter HPAL yang
terintegrasi dengan industri baterai untuk kendaraan listrik (EV) dan
penyimpanan energi listrik (storage). MIND ID melalui Antam, bersama PT
Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero) rencananya akan membangun dua pabrik
baterai integrasi.
Dengan
adanya rencana pengembangan di industri hilir tersebut, Irwandy yakin investasi
nikel di Indonesia akan semakin menarik. Apalagi dari sisi hulu, dia menyebut
bahwa wilayah greenfield yang bisa dieksplorasi masih sangat luas.
"Wilayah
greenfield nikel masih luas. Potensi cadangan yang besar dan peluang industri
hilir. Indonesia menjadi menarik untuk pengembangan investasi nikel," imbuh
Irwandy.
Adapun,
merujuk pada data dari Badan Geologi Kementerian ESDM, hingga Juli 2020, total
neraca sumber daya bijih nikel Indonesia mencapai 11,88 miliar ton. Sedangkan
total sumber daya logam nikel sebesar 174 juta ton.
Lalu,
neraca cadangan bijih nikel hingga Juli 2020 tercatat sebesar 4,34 miliar ton.
Sementara total cadangan logam nikel sebesar 68 juta ton. Data tersebut
dikumpulkan dari 328 lokasi di Indonesia. Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara
dan Maluku Utara menjadi tiga provinsi dengan sumber daya dan cadangan nikel
terbesar.
Sumber : Kontan, 13.10.2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar